Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBIC), bekerjasama dengan SEAMEO BIOTROP, Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Persatuan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI) serta didukung oleh International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) menyelenggarakan webinar “Potensi Bioteknologi Pertanian dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia”. (17/12).
Dalam diskusi tersebut, Direktur Seameo Biotrop, Irdika Mansur mengatakan bahwa penelitian dan pengembangan bioteknologi tanaman meliputi rekayasa genetika untuk mendapatkan bibit unggul, identifikasi dan kloning gen ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan kultur jaringan tanaman untuk penyediaan bibit unggul.
Irdika Mansur menjelaskan dalam penelitian rekayasa genetika, Biotrop telah berhasil mentransformasi rumput laut dengan menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens untuk mendapatkan ketahanan terhadap hiposalin (2016 – 2018) yang dilakukan oleh Dr. Erina Sulistiani. Selain itu di bidang kultur jaringan, Biotrop juga telah mengembangkan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti: kayu jati, jabon, sengon, chesnut, anubias, talas satoimo, gaharu, kayu putih dan beberapa tanaman lokal langka. “Bibit tanaman yang diproduksi oleh lab kultur karingan memiliki tingkat kematian yang sangat rendah”, katanya.
Adi Nuryanto, Koordinator Kerjasama Luar Negeri, Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Adi Nuryanto, mengatakan upaya peningkatan kualitas SDM di bidang pertanian saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalui kerjasama dengan Seameo Biotrop akan mendirikan Program Sekolah Mandiri Produksi Sayuran dan Buah Edukasi (Smarts-Be) untuk sekitar 30 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bidang agribisnis dan agroteknologi seluruh Indonesia.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia telah mengamanatkan SMK merupakan salah satu ujung tombak pertanian nasional yang diprioritaskan. Penguasaan teknologi pertanian perlu diberikan kepada siswa didik di SMK Pertanian, karena teknologi pertanian di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. Hal ini mengingat beberapa kebutuhan pangan dalam negeri masih mengimpor dari luar negeri, padahal Indonesia memiliki potensi yang belum dikembangkan. “Revitalisasi SMK Pertanian diharapkan dapat mengatasi kekurangan bahan pangan di Indoneia dengan menciptakan tenaga terampil dan wirausaha bidang pertanian,” tambahnya.
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan, Winarno Tohir mengatakan bahwa di tahun 2020, Etiopia berada di urutan ke 12 negara Adi Daya Pertanian dan Ketahanan Pangan versi FSI (Food Sustainability Indeks), sedangkan Indonesia urutan 21. “Hal ini menandakan Indonesia yang tertinggal jauh dibandingkan negara di Afrika yang sudah menerapkan teknologi. Petani Indonesia saat ini sangat berharap masuknya bioteknologi ke Indonesia agar kesejahteraan petani meningkat seperti petani di negaranegara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan teknologi lebih awal yang di fasilitasi negaranya,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur IndoBic, Prof. Dr. Bambang Purwantara menjelaskan bahwa berdasarkan laporan dari ISAAA, di tahun 2019, sudah ada 71 negara yang telah mengadopsi tanaman biotek sejak tahun 1996. 91 persen. Dari tanaman tersebut diproduksi oleh 5 negara mega bioteknologi yaitu Amerika Serikat (AS), Brazil, Argentina, Kanada dan India. “190,4 juta hektar lahan yang sudah ditanami tanaman biotek dengan 5 tanaman biotek utama yaitu jagung, kedelai, kapas, kanola dan alfalfa,” tambahnya. Dirinya menambahkan, IndoBic akan mengadakan lomba karya tulis bagi jurnalis dan publik yang akan digelar tanggal 18 Desember 2020-18Maret 2021 dan malam penagurahannya akan dilakukan bulan April 2021.
“Tujuan lomba ini untuk meningkatkan pemahaman (advancing knowledge) wartawan bidang pertanian, lingkungan hidup, ekonomi akan bioteknologi pertanian secara keilmuan, science base. Selain itu, mempunyai kemampuan mengidentifikasi isu-isu krusial di sekitar bioteknologi global dan regional, mendeteksi hambatan (regulasi, politik, anggaran pemerintah, keilmuan, lingkungan hidup, persepsi eksekutif, persepsi legislatif, persepsi publik) percepatan adopsi bioteknologi pertanian di Indonesia. Penulis diharapkan juga mampu mencetuskan gagasan solusi yang bisa ditempuh untuk mengurai hambatan tersebut merujuk best practise di negara maju dan local wisdom yang bisa diadopsi di Indonesia, serta mampu memberi gambaran prospek masa depan pertanian berbasis bioteknologi secara global dan di Indonesia,” ujarnya.