Ditengah Pandemi, Diversifikasi Perkebunan Kopi Lindungi Petani

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak cukup besar pada setiap aspek kehidupan. Pembatasan mobilitas masyarakat yang mengakibatkan berkurangnya aktivitas ekonomi menyebabkan pendapatan sebagian besar masyarakat menurun sehingga kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun hal tersebut tidak terjadi pada petani kopi di wilayah AMSTIRDAM (Ampel Gading, Sumber Manjing Wetan, Tirtoyudo, dan Dampit), Kabupaten Malang, Jawa Timur. Setidaknya hingga saat ini mereka tetap aktif berkebundengan menerapkan protokol kesehatan dan tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan dasar sehari-hari.

“Pandemi ini tentunya turut memberikan dampak negatif pada kopi, namun kami tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini karena masing-masing kelompok tani kopi di desa kami mengembangkan budidaya kopi dan tanaman pangan lainnya. Oleh karena itu, kami dapat mengambil kebutuhan pangan dari kebun sendiri, seperti sayur dan buah-buahan, dan menjualnya jika berlebih” ujar Petani kopi di daerah Sumber Manjing Wetan, Bakri.

Selain berkebun kopi dan tanaman pangan, Bakri bersama petani di Sumber Manjing Wetan lainnya juga mengembangkan ternak kambing dan lebah serta mengembangkan kegiatan diversifikasi lainnya di kebun. Hasilnya, mereka mendapatkan madu, membuat pupuk kompos dari campuran kotoran kambing dan kulit biji kopi, membuat bibit kopi dan juga menyewakan pengeringan biji kopi.

“Meskipun sedang dalam keadaan pandemi, sampai saat ini permintaan bibit kopi dari luar wilayah Sumber Manjing Wetan selalu ada. Bahkan kami sering mengejar produksi untuk memenuhi target permintaan hingga 10.000 bibit. Satu bibitnya dijual sekitar lima ribu rupiah, sehingga bisa menjadi pendapatan utama kami ketika bijih kopi belum bisa dipanen,” papar Bakri.

Bakri yang juga berperan sebagai petani terlatih di Desa Harjokuncaran, mengatakan bahwa untuk mengembangkan kebunnya tersebut, ia dan petani lainnya mendapatkan berbagai pengetahuan baru tentang budidaya kopi. Pengetahuan ini didapat dari program pendampingan peningkatan kapabilitas petani yang dilakukan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (Yayasan IDH) bersama dengan PT Asal Jaya, perusahaan eksportir kopi nasional di Jawa Timur sejak tahun 2016 hingga 2021.

Baca Juga :   Pemerintah Siap Berikan Paket Sarplas

“Selama lima tahun, saya dan 15.000 petani kopi lainya di AMSTIRDAM dilatih mengenai teknik dalam memanen seperti cara memetik cherry merah, paska panen seperti pengeringan biji dan sortasi, sampai mengolahnya menjadi produk yang siap dikonsumsi. Kami juga diajarkan untuk bertanam tumpang sari dengan jahe, mengembangkan organisasi petani, manajemen keuangan, dan kesempatan praktik dalam perkebunan percontohan dengan ekosistem terintegrasi untuk mengembangkan budidaya kopi berkelanjutan,” ungkap Bakri.

Bakri pun mengungkapkan “bahwa tidak hanya bercocok tanam, para petani perempuan juga tergabung dalam kelompok wanita tani (KWT). Mereka diajarkan untuk belajar membatik, memelihara bunga, dan sayur-sayuran untuk dikonsumsi masyarakat.”

Lebih lanjut, Bakri mengakui sebelum adanya pelatihan, para petani di AMSTIRDAM masih bercocok tanam dengan pengetahuan yang terbatas dan menggunakan cara yang diwariskan orang tua sebelumnya, yaitu dengan sistem monokultur atau satu jenis tanaman kopi saja. Ini mengakibatkan kualitas biji kopi yang dihasilkan dari masing-masing kebun masih beragam dan nilai jualnya menjadi rendah.

“Kini upaya pembelajaran kami selama lima tahun telah teruji dengan pandemi sekaligus perubahan iklim. Alhamdullilah, sampai saat ini kami masih bisa berkebun dan memenuhi kebutuhan keluarga kami. Terlebih, produktifitas kebun kopi kami juga meningkat sekitar 11%, dimana PT Asal Jaya menjadi pembeli utama. Berbekal pengetahuan yang dimiliki, kedepannya kami akan meningkatkan biji kopi yang lebih baik dan menurunkan ilmu ini kepada anak cucu kami untuk mencegah kepunahan kopi,” jelas Bakri.

Dampak pelatihan dan peningkatan kapasitas juga dirasakan oleh Yurniati, petani kopi perempuan asal Ampel Gading. Saat ini, Yurniati dan kelompok petaninya yang disebut dengan Sustainable Agriculture Business Cluster (SABC) Tawangagung memiliki unit usaha simpan pinjam bagi anggotanya.

Baca Juga :   Hadapi Elnino, Petani dan Penyuluh Pangkajene Kepulauan Lakukan Pengukuran GRK

“Dana usaha simpan pinjam ini dapat digunakan oleh anggota SABC untuk menjadi modal perkebunan mereka, atau bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga. Contohnya seperti pinjaman untuk biaya pengobatan Covid-19,” terang Yuniarti. Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *