Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Ditjen Perkebunan komitmen melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim untuk menurunkan emisi karbon/ gas rumah kaca (GRK) di sub sektor perkebunan.
Guna memenuhi target penurunan emisi GRK, Ditjen Perkebunan melaksanakan berbagai program budidaya sawit berketahanan iklim dan rendah karbon, salah satunya dengan menerapkan budidaya sesuai GAP (seperti pemupukan berimbang) dan memanfaatkan bahan bakar biofuel pada kendaraan pengangkut buah sawit. Energi yang digunakan pada kegiatan pengolahan memanfaatkan bahan bakar fosil dan listrik pada mesin produksi serta fasilitas operasional.
Subkoordinator Perlindungan Perkebunan Kementan, Dwimas Nugraha Suryanata mengungkapkan, emisi karbon/GRK juga berdampak pada menurunnya produksi dan produktivitas kelapa sawit, kebakaran hutan, polusi udara, dan kesehatan.
“Pengelolaan kelapa sawit kita banyak tantanganya. Karena itu, kita lakukan adaptasi dan mitigasi untuk mengantisipasinya dengan kegiatan budidaya sawit yang berketahanan iklim dan rendah karbon,” kata Dwimas Nugraha, dalam webinar yang digelar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertajuk “ Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emissions Indonesia”, di Jakarta, Rabu (24/5).
Menurut Dwimas, lahan perkebunan sawit yang dikonversi ke depan dari lahan yang memiliki karbon lebih rendah. Artinya, kebun sawit seyogyanya dikembangkan di tanah terlantar, padang rumput, semak belukar. Dengan begitu, budidaya sawit dapat membantu meningkatkan serapan karbon. “Apabila konversi lahan sawit dari tutupan hutan, justru menghasilakn emisi,” ujarnya.
Bagian yang tak kalah penting untuk menurunkan emisi GRK, lanjut, Dwimas adalah sarana prasarana untuk menunjang kegiatan penanganan kebakaran lahan perkebunan berupa pompa, selang, menara api, dan lain-lain, sesuai Permentan No. 05 tahun 2018.
Kemudian, perbaikan tata kelola air dan tinggi muka air tanah pada lahan gambut kepada pekebun dan tenaga pendamping/penyuluh perkebunan. “kita juga memanfaatkan limbah sawit untuk pupuk. Kemudian mengurangi risiko perubahan iklim dan membangun usaha perkebunan yang tangguh menghadapi perubahan iklim,” paparnya.
Dwimas juga mengatakan, Kementan melalui Ditjen Perkebunan juga melakukan pembangunan perkebunan berketahanan iklim. Diantaranya dengan mengembangkan demplot mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini bertujuan agar terbangunnya demplot mitigasi dan adaptasi kekeringan untuk menghadapi dampak negatif dari kekeringan dan mengurangi GRK pada subsektor perkebunan
Kemudian, mengembangkan demplot pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB). Tujuannya adalah terbangun model demplot PLTB dan memfasilitasi pekebun dalam melakukan pembukaan lahan perkebunan dengan cara tanpa membakar.
Mengembangkan, Desa Pertanian Organik Berbasis Komoditas Perkebunan, yang bertujuan menciptakan penyediaan sarana pendukung peningkataneEkspor komoditi organik perkebunan dan dukungan tim percepatan ekspor produk organik perkebunan
“Kami juga melakukan pengendalian OPT melalui Agen Pengendali Hayati dan Pestisida Nabati . dan mengembangkan Sertifikasi Climate Friendly Farming (CFF) yang diaplikasi ke masyarakat sehingga mampu menurunkan kerugian yang ditimbulkan akibat perubahan iklim pada tanaman perkebunan,” paparnya.
Ditjen Perkebunan, lanjut Dwimas, juga mendorong pelaksanaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit dilakukan pada lahan terlantar/terdegradasi. Rehabilisasi, reklamasi dan revitalisasi lahan gambut terlantar dan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan (tatakelola air)
“Sejalan dengan pesan moratorium, lahan gambut yang masih berupa hutan, perlu dipertahankan agar tetap sebagai hutan Lahan gambut yang sudah digunakan untuk pertanian perlu ditingkatkan produktivitasnya dan dikelola dengan baik agar emisi GRK-nya rendah dan produktivitasnya tinggi,” pungkasnya. SY