Pengembangan Sapi Potong di Jawa Tengah Melalui Pendekatan Perencanaan Wilayah

Berita, Peternakan62 Dilihat

Oleh:

Yuliana Susanti, SPt, MSi
(Fungsional Perencana Muda, Kementerian Pertanian)

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu sentra penghasil ternak potong terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur yang memasok kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Provinsi Jawa Tengah memiliki populasi sapi potong sebanyak 1,89 juta ekor pada tahun 2022. Namun demikian perkembangan Industri peternakan sapi di Provinsi Jawa Tengah masih terbilang belum pesat, bahkan menurun 0,18% dari tahun sebelumnya. Sementara permintaan terhadap sapi domestik terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk di Indonesia.

Pengembangan sapi potong berdasarkan pendekatan perencanaan wilayah merupakan salah satu upaya untuk meningkatan populasi dan produksi sapi di Provinsi Jawa Tengah, dengan mensinergiskan antara potensi komoditas dan wilayah. Makalah kebijakan (Policy Paper) ini bertujuan untuk menganalisis potensi pengembangan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan perencanaan wilayah, serta merumuskan strategi pengembangannya.

Untuk mengidentifikasi potensi pengembangan sapi potong dihitung menggunakan analisis KPPTR (Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia), analisis Location Quotient (LQ), serta analisis Skalogram. Perumusan strategi pengembangan sapi potong menggunakan analisis deskriptif untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan nilai KPPTR, nilai LQ dan hierarki wilayah yang ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan pengembangan sapi potong.

Berdasarkan hasil pembahasan tentang pengembangan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah melalui pendekatan perencanaan wilayah, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi ketersediaan hijauan pakan yang cukup besar, sehingga masih bisa menambah populasi ternak ruminansia, termasuk juga sapi potong sebesar 4.401.470,55 ST berdasarkan TDN. Wilayah yang mempunyai kelebihan ketersediaan hijauan pakan (KPPTR positif) terdapat pada 17 kabupaten dari 21 kabupaten yang ditunjuk sebagai wilayah pengembangan sapi potong. Wilayah tersebut yaitu kabupaten Blora, Boyolali, Brebes, Purbalingga, Grobogan, Jepara, Pati, Sragen, Banyumas, Tegal, Wonosobo, Rembang, Sukoharjo, Magelang, Banjarnegara, Karangayar dan Kebumen. Selanjutnya untuk empat (4) wilayah lainnya yaitu Temanggung, Klaten, Semarang dan wonogiri memiliki KPPTR negatif (kekurangan hijauan pakan).

2. Wilayah basis sapi potong di Jawa Tengah ada 7 kabupaten yaitu Blora, Pati, Kebumen, Rembang, Boyolali, Grobogan dan Sragen.

3. Hasil penilaian secara fisik untuk kapasitas pelayanan yang mendukung pengembangan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah masih ada beberapa wilayah yang memiliki kapasitas pelayanan rendah dan sedang, terutama pada wilayah basis sapi potong.

Dari hasil kesimpulan tersebut di atas, maka penulis merekomendasikan beberapa hal untuk mendukung pengembangan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah sebagai berikut:

1. Pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah dapat mengaplikasikan strategi pengembangan sapi potong berdasarkan perencanaan wilayah, sesuai dengan pengelompokkan wilayah. Penguatan wilayah-wilayah basis produksi dapat dilakukan melalui introduksi teknologi dan sistem manajemen peternakan yang efisien melalui pendekatan kawasan, baik kawasan pembibitan, bubidaya, maupun kawasan pengolahan (industri hilir) peternakan;

2. Pengembangan wilayah atau sentra pembibitan perlu diperkuat melalui regulasi pemerintah daerah yang didukung oleh pemerintah pusat dengan penetapan kawasan pengembangan peternakan sebagai sumber bibit dan bakalan. Lambatnya laju pertumbuhan populasi khususnya sapi potong dapat diantisipasi melalui pembenahan dalam sistem perbibitan.

3. Kelangsungan pembangunan peternakan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah sangat ditentukan oleh sejauhmana pemanfaatan sumberdaya pakan yang melimpah secara berkesinambungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan, pengolahan dan peningkatan akses, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pakan lokal, baik Hijauan Pakan Ternak (HPT) maupun bahan pakan konsentrat. Strategi peningkatan kualitas pakan diarahkan kepada teknologi pengolahan pakan dengan bahan baku lokal yang cukup tersedia, serta pengembangan produksi bahan dan ransum melalui pengembangan pakan. Selain itu perlu adanya fasilitasi pemerintah daerah dalam menjamin pasokan bahan pakan terutama dari wilayah pertanian/perkebunan;

4. Peningkatan fasilitas penunjang peternakan dalam rangka pengembangan peternakan khususnya dalam penyediaan bibit dan bakalan serta peningkatan penyediaan fasilitas layanan peternakan perlu dikakukan baik kuantitatif maupun kualitatif secara lebih merata untuk melayani aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi hasil peternakan;

5. Peningkatan kualitas SDM peternak untuk meningkatkan produksi dan reproduksi ternak dapat dilakukan melalui perbaikan tatalaksana produksi. Selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha ternak, sehingga mampu memberikan nilai tambah dan menjaga keberlangsungan usaha;

6. Penguatan kelembagaan diperlukan melalui pengembangan kelompok peternak, pengembangan layanan peternakan, dan kerjasama antar stakeholders secara lebih produktif. Penguatan peran dan fungsi kelembagaan peternak juga penting untuk meningkatkan produksi dan keberlanjutan usaha ternak.

7. Optimalisasi kerjasama kemitraan pemerintah daerah – peternak – swasta dan stakeholder terkait lainnya dalam pengembangan peternakan. Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta seperti perusahaan pertanian/perkebunan dalam mengembangkan perbibitan perlu diupayakan, terutama sebagai sumber bahan pakan. Demikian juga halnya kerjasama dengan akademisi (perguruan tinggi) terutama dalam pengembangan teknologi pemuliaan dan produksi sangat diperlukan.

8. Komitmen pemerintah daerah yang didukung oleh motivasi peternak merupakan modal yang sangat berharga dalam pengembangan peternakan sapi potong berkelanjutan.

9. Perlu mengoptimalkan kerjasama antar wilayah pengembangan sapi potong terkait dengan pemenuhan kontinuitas produksi yang berupa pengamanan input maupun dari segi pemasaran, penggunaan sarana pendukung serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, magang dan studi banding antar wilayah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *