Ditjenbun Minta Pengusaha Sawit Lebih Peduli Untuk Penuhi Pasokan Minyak Goreng

Berita, Perkebunan44 Dilihat

Jakarta – Ditjen Perkebunan minta pengusaha perkebunan kelapa sawit terutama yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk lebih peduli dengan kondisi masyarakat yang saat ini sedang mengalami kelangkaan minyak goreng. Heru Tri Widarto, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan menyatakan hal ini kepada Media Perkebunan.

“Pada saat merintis perkebunan kelapa sawit dahulu kala, banyak program-program Pemerintah yang memberikan kemudahan kepada perusahaan perkebunan melalui Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN), sehingga sekarang sudah waktunya perusahaan perkebunan juga berperan aktif dan berkontribusi dalam penyediaan minyak goreng saat ini,” kata Heru menegaskan.

Lewat Keputusan Menteri Pertanian nomor 251/KPTS/OT.050/M/3/2022 Ditjen Perkebunan masuk dalam Tim Pengawalan dan Monitoring Ketersediaan dan Harga Bahan Pangan Pokok menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) di 4 provinsi yaitu Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Khusus untuk minyak goreng dan gula konsumsi yang merupakan komoditas perkebunan, Ditjenbun mendapat tugas untuk melakukan pengawalan dan monitoring ketersediaan dan harga di setiap provinsi.

“Pak Dirjen sudah memerintahkan kami untuk ikut membantu ketersediaan minyak goreng dan gula konsumsi. Kita sudah alokasikan anggaran untuk penyediaan minyak goreng 100.000 liter dan gula konsumsi 100.000 kg yang akan dialokasikan untuk masyarakat kurang mampu. Kita minta mitra kita yaitu perusahaan kelapa sawit yang punya produksi minyak goreng dan Pabrik Gula mengalokasikan produknya untuk memenuhi kebutuhan ini,” katanya.

“Kita minta mereka lebih peduli pada program kita. Kita penanggung jawab pembinaan ditingkat hulu yaitu kebun sampai CPO untuk sawit sedang gula mulai dari tebu sampai jadi gula,” kata Heru lagi. Ditjenbun minta tanggung jawab sosial perusahaan yaitu memperhatikan masyarakat yang membutuhkan.

Setiap direktorat akan mendapat penugasan memantau minyak goreng dan gula pasar di beberapa provinsi. Bila ada kelangkaan maka segera berkoordinasi dengan mitra perusahaan perkebunan kelapa sawit terintegrasi dan PG untuk segera mengisi. Sedang masalah kenaikan harga koordinasi dengan Kemendag dan Satgas Pangan untuk melakukan operasi pasar.

Dari sisi kewenangan, Kementan tidak sampai ke minyak goreng. Hanya hubungan baik dengan mitra perusahaan perkebunan yang punya bisnis sampai ke hilir diharapkan mereka bisa bantu menyediakan 100.000 liter yang dialokasikan oleh Kementan.

Saat ini yang dibutuhkan masyarakat adalah barangnya ada bukan gratisan. Jangan sudah mahal tidak ada lagi. Karena itu Ditjenbun minta perusahaan perkebunan yang punya industri migor mau mengeluarkan barangnya, juga memasok CPO pada pabrik migor yang tidak punya kebun.

Dari sisi CPO persediannya melimpah, sama sekali tidak ada masalah. CPO juga tidak mungkin disembunyikan karena cepat rusak. Petani juga masih memanen TBSnya dan tidak ada yang dibiarkan busuk di kebun.

Gejolak petani kelapa sawit juga tidak ada. Memang pada awal-awal kebijakan DMO dan DPO diterapkan PKS menyikapinya dengan seolah-olah harga CPO mereka semuanya dihargai Rp9300/kg sehingga harga TBS petani harganya turun.

“Waktu itu saya langsung membuat surat kepada dinas-dinas perkebunan untuk memberikan sanksi pada PKS yang menurunkan harga pembelian TBS. DMO dan DPO yang hanya 20% bukan jadi alasan untuk menurunkan harga TBS,” kata Heru.

Setelah surat itu beredar maka PKS kembali membeli harga TBS sesuai dengan penetapan harga atau harga CPO internasional. Petani tenang kembali dan mengurus kebunnya.

“Kewenangan kita dalam perizinan dari kebun sampai menjadi CPO. Dan sampai titik ini sama sekali tidak ada masalah. Masalah terjadi dari pengolahan CPO menjadi minyak goreng dan distribusinya dan itu sudah menjadi kewenangan Kementerian lain,” kata Heru.

Kementerian Perdagangan sebagai instansi yang mengeluarkan aturan DMO dan DPO juga sudah punya aturan yang tegas beserta sanksi-sanksiinya.

Saat ini sesuai dengan UU otonomi daerah kewenangan perizinan perkebunan ada pada bupati/walikota untuk perkebunan dalam satu kabupaten/kota dan gubernur bila lintas kabupaten/kota. Izin yang dikeluarkan oleh kepala daerah berpedoman pada aturan yang sudah dibuat Kementerian Pertanian/Ditjen Perkebunan. Pembinaan kepada pemberi izin juga ada Ditjebun.

“Jadi kalau pemda mengeluarkan izin yang tidak sesuai pedoman yang kita berikan maka kita bisa memberi teguran untuk diperbaiki. Salah satu yang harus dilakukan oleh pemberi ijin adalah melakukan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) sebagai evaluasi apakan perusahaan perkebunan benar melakukan sesuai perizinan,” katanya.

Pemda diminta mengalokasikan anggaran untuk PUP ini supaya berjalan dengan baik. Pembinaan PUP ada di Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan. Anggaran di PPHbun ada tetapi tentu tidak bisa mencakup semua sehingga partisipasi anggaran pemda sangat diperlukan.

“PUP masih berjalan tetapi masih perlu ditingkatkan lagi. Direktorat Jenderal Perkebunan akan menyurati pemda-pemda yang belum melaksanakan PUP. Kita harus tahu kepatuhan perusahaan-perusahaan perkebunan dalam melaksanakan peraturan ,” katanya.

Sertifikat ISPO merupakan indikator bahwa perusahaan itu mengikuti semua peraturan yang ada, karena itu sekarang bersifat mandatory bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pekebun 2025. Pemerintah akan melindungi perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat ISPO.

Rencana pemerintah yang akan mencabut izin perusahaan perkebunan yang dianggap melanggar regulasi dibidang kehutanan pada saat ini dievaluasi lagi, karena ada perusahaan yang sudah bersertifikat ISPO masuk dalam daftar. Kalau sudah bersertifikat ISPO berarti telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *