Pelajari Smart Farming Negeri Ginseng, Kementan Utus Widyaiswara

LEMBANG – Kementerian Pertanian (Kementan) mengirim sejumlah perwakilan ke Korea Selatan untuk mempelajari smart farming yang ditetapkan di Negeri Ginseng. Ilmu dari Korea dipresentasikan di BBPP Lembang, Kamis (3/7/2025).

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menegaskan jika teknologi adalah kunci untuk memajukan pertanian Indonesia.

“Teknologi mampu menjadikan pertanian Indonesia jauh lebih kuat dan tahan terhadap berbagai ancaman,” tutur Amran.

Ia menambahkan bahwa teknologi yang diterapkan haruslah mampu menyederhanakan proses pertanian, menjadikannya simpel, murah, dan terjangkau. Sehingga, memberikan keuntungan lebih besar bagi para petani.

Sejalan dengan visi tersebut, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) gencar membuka berbagai program pelatihan.

Kepala BPPSDMP, Idha Widi Arsanti, menekankan bahwa instansinya mendorong seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) pelatihan di bawah naungannya untuk menyelenggarakan pelatihan berbasis teknologi dan kebutuhan masa depan.

Kepala Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang, Ajat Jatnika, menegaskan komitmennya untuk memanfaatkan IPTEK dan menyajikan teknologi pertanian terbaru dalam pelatihan.

Dalam hal Smart Farming, BBPP Lembang telah memiliki beberapa unit Smart Green House yang sudah diotomatisasi untuk menyesuaikan dengan cuaca,” katanya.

Selain itu, ada juga perangkat Internet of Things yang berfungsi untuk mengenali cuaca, unsur hara tanah, dan kondisi lahan di Rumah Pangan Lestari BBPP Lembang.

Dan untuk mempelajari lebih jauh mengenai smart farming Kementan mengirim wakil ke Korea Selatan.

Salah satu perwakilan tersebut adalah Dewi Padmisari Suryaningrum, widyaiswara dari BBPP Lembang.

Perjalanan Dewi selama 7 hari kemudian dipresentasikan di depan widyaiswara dan mahasiswa yang tengah menjalani Praktik Kerja Lapang di BBPP Lembang.

Di samping smart farming, Dewi juga mempelajari kelembagaan petani di Korea Selatan.

“Contohnya pada Nonghyup Hanaro Market. Cara kerjanya adalah seperti federasi yang menaungi koperasi,” terangnya.

Menurut Dewi, cara kerja federasi tersebut menguntungkan. Karena berani membeli produk petani yang dinaunginya dengan harga tinggi kemudian menjual ke konsumen dengan harga terjangkau.

“Hal ini memberikan keuntungan baik bagi produsen produk pertanian maupun konsumen. Namun model ini membutuhkan komitmen dari pemerintah, koperasi, konsumen, dan semua yang terlibat agar saling menguntungkan,” terangnya.

Mengenai smart farming, Dewi mempelajari mengenai teknologi dan implementasinya dalam bisnis pertanian di Korea Selatan.

Menurutnya implementasi di Korea Selatan memiliki visi jangka panjang dan diimplementasikan secara komprehensif.

“Salah satu model yang sangat relevan untuk diadopsi dan dikembangkan di Indonesia adalah konsep Smart Farming Innovation Valley (SFIV) seperti yang terlihat di Gimje, Korea Selatan,” katanya.

Model ini terbukti berhasil mencetak lulusan yang siap mengimplementasikan konsep smart farming secara komprehensif.

“SFIV memiliki fasilitas yang terintegrasi, termasuk inkubator bisnis untuk petani muda (2,3 ha), pusat dukungan (0,4 ha), lahan smart farm sewaan (4,5 ha), dan kompleks demonstrasi (1,6 ha),” terangnya lagi.

Salah satu contoh sukses penerapan smart farming di Korea adalah One Acre Farm, yang mengaplikasikan indoor farming atau vertical farming.

Sistem ini memanfaatkan sinar ultraviolet dan ruang tanam bertingkat, yang mampu meningkatkan produktivitas hingga empat kali lipat dibandingkan metode konvensional.

Produk yang dihasilkan bervariasi seperti sayuran segar, herbal, dan bunga yang dapat dimakan, dengan kuantitas kecil namun beragam.

“Sistem ini lebih ramah lingkungan dibandingkan peternakan, dengan fitur otomatisasi seperti pengaturan suhu dan pencahayaan LED yang disesuaikan untuk pertumbuhan tanaman,” jelasnya.

Contoh keberhasilan lainnya adalah Green Monster, alumni pelatihan yang berhasil membudidayakan mentimun dengan nilai ekonomi tinggi.

“Mereka mampu menghasilkan 30 hingga 40 buah per tanaman dalam enam bulan, dengan hanya membutuhkan empat orang untuk 10.000 tanaman mentimun,” kata Dewi.

Tantangan ekstrem perubahan suhu di Korea, yang bisa mencapai -15°C di musim dingin, diatasi dengan menjaga suhu rumah kaca pada 15-16°C.

Menurutnya, keberhasilan Green Monster juga didukung oleh pinjaman lunak sebesar 30 miliar Won dengan bunga 1% per tahun dan skema pembayaran yang fleksibel selama 25 tahun, serta penerapan sistem inkubasi.

Melihat potensi besar ini, Dewi menyarankan untuk lebih lanjut mendalami smart farming sebagaimana di Korea Selatan.

“Pelatihan harus bisa mencakup materi dasar, budidaya, manajemen, dan pemasaran, didukung oleh pemanfaatan fasilitas Inkubator Agribisnis BBPP Lembang sebagai sarana praktik,” katanya.

Harapannya, sambung Dewi, melalui adaptasi model dan teknologi ini, Indonesia dapat mencetak lebih banyak petani milenial yang inovatif dan berdaya saing di era pertanian modern. BBPP LEMBANG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *