Pemerintah Jadi Wasit Bagi Petani dan Pengusaha Perkebunan

Benar, bahwa saat ini komoditas kelapa sawit sebagai penyumbang devisa negara yang cukup besar, bahkan mencapai kurang lebih hingga USD20 miliar di tahun 2020.

Adapun total luas perkebunan kelapa sawit tahun 2018 seluas kurang lebih 14 juta hektare (ha). Dari total luasan tersebut, lahan yang diusahakan perusahaan besar swasta (PBS) sebesar 55,09% atau seluas 7.892.706 ha. Lalu, 4,29% atau seluas 614 ha diusahakan Perkebunan Besar Negara (PBN) dan 5.818.888 ha atau 40,62% nya dikuasai oleh Perkebunan Rakyat (PR) baik petani plasma ataupun swadaya.

Melihat data tersebut maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.18 Tahun 2021, untuk mengatur kemitraan antara perusahaan baik PBS ataupun PBN dengan perkebunan rakyat baik petani plasma ataupun swadaya.

Dalam Permentan tersebut dijelaskan bahwa perusahaan diwajibkan memberikan lahan dan dibangunkan kebun sebesar 20 persen dari izin yang didapatkannya kepada masyarakat disekitar lahan perusahaan itu berdiri.

“Jadi kalau perusahaan mendapatkan izin seluas 1000 hektare (ha) maka perusahaan tersebut diwajibkan memberikan 20 persen dari 1000 ha tersebut,” ungkap Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), Heru Tri Widarto dalam webinar kelapa sawit dengan tema “Memperkuat Kemitraan dan Penerapan Moratorium Kelapa Sawit” yang dilaksanakan Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI).

Lebih lanjut, Heru menjelaskan, agar masyarakat dapat lebih merasakan manfaat dari adanya perkebunan kelapa sawit maka masyarakat didorong untuk bermitra dengan perusahaan melalui pola inti-plasma.

Seperti diketahui, pada dasarnya pola inti-plasma ini sendiri sudah ada sekitar tahun 1070-an. Pertama, pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang terdiri dari PIR khusus dan PIR lokal. Kedua, pola kemitraan PIR Transmigrasi. Keyiga, pola kemitraan PIR Kredit Koperasi Primer untuk para anggotanya (PIR KKPA). Keempat, pola kemitraan PIR Revitalisasi Perkebunan (Revitbun).

Hingga saat ini keempatnya masih berjalan. Namun untuk mempertahankan hal tersebut tidaklah mudah. Harus ada kepercayaan antara perusahaan dengan petani.Ibaratnya seperti sebuah perkawinan harus ada kepercayaan antara suami dan istri. Itulah yang terjadi pada pola inti-plasma.

“Dalam hal ini Pemerintah sebagai wasit akan menjembatani antara perusahaan dengan petani,” jelas Heru.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi (Aspekpir-Trans), Setiyono bahwa hal yang terpenting dalam pola inti-rakyat yakni kepercayaan kedua belah pihak dan harus menguntungkan bagi keduanya baik perusahaan sebagai pengolah hasil petani dan petani sebagai pemasok bahan baku.

“Jadi dalam hal ini tidak boleh ada yang terbebani baik perusahaan dan petani. Sehingga keduanya berjalan beriringan,” ungkap Setiyono.

Maka dalam hal ini, Setiyono berharap, pola kemitraan harus dikawal dengan baik. Bahkan harus ada pembenahan-pembenahan jika ada pasal yang tidak baik. Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *