Kepmentan 26 Tahun 2021 Hindarkan Multi Tafsir Produsen Pembesaran Benih Sawit

Berita, Perkebunan687 Dilihat

Jakarta – Pemerintah sudah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 26 /Kpts/KB.020/05/2021 tanggal 18 Mei 2021 tentang Pedoman Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq). Keputusan Menteri ini membatalkan keputusan Menteri Pertanian sebelumnya yaitu nomor 321 tahun 2015 yang telah diubah dengan nomor 76 tahun 2017.

Keputusan Menteri Pertanian sebelumnya berisi alur produksi benih kelapa sawit secara garis besar, proses sertifikasi , hingga pengawasan peredaran peredaran benih kepada pelaku usaha perkebunan (pekebun dan perusahaan perkebunan). Selama ini dalam pelaksanaannya di lapangan masih terdapat beberapa hal yang belum diatur diantaranya terkait dengan proses pembenihan kelapa sawit. M. Saleh Mokhtar, Direktur Perbenihan Perkebunan menyatakan hal ini.

Meskipun dalam regulasi yang lain yaitu Peraturan Menteri Pertanian nomor 131/Permentan/OT.140/12/2013 tentang Pedoman Budidaya Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq) yang baik, tercantum juga proses perbenihan kelapa sawit.

Untuk mengintegrasikannya disusunlah regulasi yang lebih komprehensif berupa Kementan nomor 26 ini. Kepmentan ini terbit melalui proses rangkaian yang sangat panjang sejak tahun 2018. Banyak diskusi dengan para pakar dan pemangku kepentingan. Juga telah dipublic hearingkan pada bulan Oktober tahun 2020.

Kepmentan ini dibuat lebih rinci, harapannya pemangku kepentingan dibidang perbenihan perkebunan perkelapa sawitan mempunyai persepsi yang sama. Disamping itu juga agar dalam implementasinya dapat diterapkan secara baik dan tidak menimbulkan multi tafsir.

“Aturan yang dibuat secara umum sering menimbulkan multitafsir. Perbedaan tafsiran ini menjadi salah satu penyebab mutu benih kelapa sawit yang dihasilkan produsen pembesaran beragam. Dengan Kepmentan ini multitafsir bisa dihindarkan, kalau dibiarkan orang punya tafsiran sendiri-sendiri kita yang salah. Petani jadi korban karena mutu benih tidak standar,” katanya.

Pokok-pokok yang ditambahkan dalam Kepmentan ini meliputi pembenihan kelapa sawit merupakan bagian Sub Sistem Produksi yang harus menjadi Prosedur Operasional Standar bagi para pelaku produsen benih pembesaran. Dengan berpedoman pada Kepmentan ini mereka dapat menyiapkan benih kelapa sawit siap tanam sesuai dengan standar mutunya.

Pengawasan dan peredaran benih merupakan bagian Sub Sistem Pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Benih Tanaman (PBT) yang berada di UPT Pusat/UPTD provinsi. Hal ini merupakan upaya mengawasi peredaran benih tanaman perkebunan antar provinsi, monitoring peredaran benih ke produsen benih kelapa sawit serta tata cara perberhentian sementara peredaran benih.

Beberapa hal yang diubah dari kepmentan ini dibanding peraturan sebelumnya adalah kontaminasi dura dari maksimal 5% jadi 2% , juga panjang plumula dan radicula yang semula maksimal 5 cm menjadi paling kurang 0,5 cm. Perubahan ini dilakukan berdasarkan SNI 8211:2015.

Kepmentan 321/2015 dan 76/2017 lebih dulu ada, setelah itu baru SNI. Setelah SNI terbit maka di lapangan terjadi dua standar yaitu Kepmentan dan SNI. “Saya sering ditanya standar mana yang harus diikuti. SNI merupakan kesepakatan para pakar jadi aturan terbaru mengikuti SNI,” kata Saleh.

“Kontaminasi maksimal 2% jauh lebih bagus daripada 5%. Lucunya ada produsen kecambah yang minta supaya kembali ke 5%. Saya tolak itu namanya kemunduran, harusnya kita maju bukan malah mundur. SNI merupakan pendapat para pakar yang terkini, Jadi itu yang kita ikuti sekarang,” kata Saleh lagi.

Semakin kecil kontaminasi dura artinya semakin bagus. Malaysia saja sekarang sudah mengadopsi SNI dengan kontaminasi maksimal 2%. Masa Indonesia malah mau kembali ke 5%. SNI memang sekarang sedang dalam proses revisi tetapi Ditjenbun tetap mengacu pada SNI yang sekarang berlaku.

“Keputusan ini dibuat bukan untuk mempersulit pelaku usaha perbenihan kelapa sawit baik kecambah maupun pembesaran. Pemerintah harus mempermudah tidak boleh mempersulit. Petani baik peserta PSR maupun bukan harus mendapat benih yang baik. Itu sudah harga mati sehingga Kepmentan ini diterbitkan,” kata Saleh. Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *