Program CSA Kementan Asa Ditengah Ancaman Perubahan Iklim

Berita, General29 Dilihat

CIREBON – Fenomena climate change dan El Nino masih menjadi topik hangat di Indonesia. Langkah-langkah strategispun terus dilakukan oleh Kememterian Pertanian (Kementan) untuk menghadapi El Nino yang diperkirakan berlangsung hingga Agustus sampai September nanti. Diantaranya dengan mempersiapkan berbagai upaya antisipasi adaptasi dan mitigasi El Nino di sektor pertanian yang siap dilaksanakan setiap daerah. Kementan juga terus mendorong dan membantu petani dalam meningkatkan produktivitas sektor pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan.

Program Climate Change Agriculture (CSA) Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Proyek (SIMURP) menjadi salah satu jawaban terhadap perubahan iklim, terutama kondisi El Nino yang terjadi saat ini. Karena itu, petani harus melanjutkan teknologi yang diterapkan, meski program tersebut akan berakhir pada 2024 mendatang.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengatakan, saat ini tantangan pembangunan pertanian sangatlah besar. Selain, adanya perubahan iklim atau climate change, juga terjadi degradasi lahan, sarana produksi terbatas, khusus pupuk kimia kian mahal, produksi juga tidak efisien dengan penurunan produktivitas lahan.

“Karena itu, sekarang ini kita tidak bisa lagi dengan cara lama, tapi harus sudah menggunakan cara baru dalam meningkatkan produksi pangan. Dengan jumlah penduduk kita mencapai 280 juta jiwa, hadirnya pertanian yang makin maju, makin modern dan mandiri akan sangat berarti. Karena penduduk Indonesia sangat besar,” ujar Mentan Syahrul.

Menyikapi perubahan iklim tak menentu, kata Mentan Syahrul, pelaku pertanian dituntut membuat pertanian agar lebih ramah lingkungan sekaligus berdapatasi dengan fenomena alam lainnya, sehingga produktivitas dan keragaman komoditi pertanian bisa dicapai.

Karena pertanian ramah lingkungan juga sejalan dengan pertanian berkelanjutan yang merupakan implementasi dari RPJMN Prioritas Nasional (PN) 6 tentang membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon, jelas Mentan Syahrul lagi.

“Bentuk-bentuk penerapan pertanian ramah lingkungan antara lain pertanian cerdas iklim atau CSA, pertanian terintegrasi (integrated farming), serta pertanian organik,” imbuhnya.

Secara terpisah, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi mengatakan bahwa pertanian ramah lingkungan merupakan sistem pertanian yang mengelola seluruh sumber daya pertanian dan input usaha tani secara bijak, berbasis inovasi teknologi untuk mencapai produktivitas berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan dan berisiko rendah.

Selain itu pertanian ramah lingkungan merupakan teknik pertanian yang dalam pelaksanaannya menggunakan mikroorganisme menguntungkan serta bahan organik sehingga agroekosistem menjadi seimbang baik di bawah tanah maupun di atas tanah.

Kabadan Dedi menjelaskan, petani seringkali menggunakan pestisida maupun pupuk kimiawi yang berlebihan dan berakhir pada hancurnya lingkungan yang kembali lagi berakibat pada pertanian.

“Pertanian Cerdas Iklim atau CSA menjadi solusi yang amat nyata dalam mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca,” lanjut Kabadan.

Dedi melanjutkan, mitigasi terhadap perubahan iklim harus dilakukan dari hal-hal yang paling kecil. Mulai dari penggunaan pupuk organik, mengurangi penggunaan produk kimiawi, hingga lahan sawah dengan sistem tergenang. Khusus yang terakhir, penggenangan memang perlu untuk memaksimalkan penyerapan unsur hara, meminimalisir gulma atau tanaman pengganggu, tetap tidak dilakukan terus menerus. “Alternate Wetting and Drying atau penggenangan dan pengeringan menjadi solusi yang tepat karena terbukti menekan emisi GRK,” cetus Kabadan Dedi.

Sementara Kepala Pusat Penyuluhan saat menghadiri Farm Field Day (FFF) CSA SIMURP Scalling Up di Desa Pasuruan, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, Selasa (8/8) mengatakan bahwa peningkatan produksi dan produktivitas tanaman padi yang menerapkan program CSA.

“Ini kabar gembira bagi kami, apa yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan apa yang kami harapkan,” katanya.

Dalam kegiatan tersebut juga hadir Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, Bupati Cirebon, Imron Rosyadi, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Tim NPIU BPPSDMP, perwakilan Kementerian PUPR, Kemendagri, Bappenas, para penyuluh pertanian dan petani.

Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, penerapan CSA program SIMURP mampu meningkatkan produktivitas 0,5-1,5 ton/Ha. Padahal untuk menaikkan produktivitas sebesar itu tidak mudah di tengah berbagai tantangan dalam usaha tani padi. Contohnya program SIMURP di Desa Pasuruan, Kecamatan Pabedilan, Cirebon. “Ini contohnya dan sudah ada bukti nyata,” katanya.

Untuk itu, Bustanul berharap jika nanti program ini telah selesai pada Juni 2024, petani dan penyuluh bisa melanjutkan teknologi yang telah diterapkan dalam SIMURP. Bukan hanya dilanjutkan, teknologi CSA juga bisa diresonansi dan refleksikan di wilayah lain. “Kalau kita tidak lanjutkan, nantinya program ini hanya sekedar proyek saja,” katanya.

Dalam program SIMURP, teknologi yang diterapkan yakni varietas unggul, pupuk berimbang, pemanfaatan air yang efisien dan penggunaan alat mesin pertanian. Teknologi tersebut sesuai kondisi iklim yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yakni El Nino. Apalagi BMKG telah memprediksi El Nino akan hadir pada Agustus-September dalam kondisi sedang dan moderat.

Bustanul mengungkapkan, program CSA dalam proyek SIMURP ini mendapat apresiasi dari Bank Dunia. Pasalnya, dengan beberapa kegiatan mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani. Bahkan program tersebut bisa menjadi pembelajaran bagi semua negara dalam menghadapi perubahan iklim dan efek Gas Rumah Kaca.

”Diperkirakan dari program CSA ini pengurangan efek gas rumah kaca hampir mencapai 30 persen dengan pemanfaatan teknologi intermiten irigasi yakni pengairan bersela kering-basah,” katanya.

Sementara itu Bupati Cirebon, Imron Rosyadi menegaskan, meski nanti program SIMURP telah selesai, pihaknya siap melanjutkan program-program yang ada, terutama pertanian cerdas iklim. Bahkah Pemkab Cirebon telah berkomitmen untuk terus meningkatkan produksi pangan berkelanjutan. Apalagi jumlah penduduk Cirebon terus meningkat.

”Saya mengapresiasi kegiatan panen program CSA SIMURP ini, karena mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi,” katanya. Namun demikian dirinya berharap, karena banyak petani yang tidak paham dengan ilmu pertanian dan hanya menjalankan kebiasaan pendahulunya dan sulit berubah, Imron meminta peran penyuluh untuk mengubah prilaku petani.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Alex Suheriyawan menambahkan, program CSA SIMURP di Cirebon berlokasi di 7 kecamatan dengan luasan 72 hektar (ha). Dari total luasan tersebut, yang berada di Kecamatan Pabedilan hampir 50 ha. ”Teknologi CSA SIMURP ini menjadi jawaban kegalauan terhadap persoalan iklim El Nino tahun 2023,” katanya.

Meski masih tahapan uji lapangan, Alex mengakui, keberhasilan program ini sudah mulai dirasakan dapat mengurangi efek gas rumah kaca. Begitu juga dari sisi produktivitas padi yang naik dari 5,62 ton/ha menjadi 7,2 ton/ha. ”Jadi kita akan terus sosialisasikan dan lanjutkan. Apa yang sudah dilakukan dan diterapkan sudah terasa manfaatnya dengan peningkatan produktivitas mencapai 0,5-1,5 ton/ha,” katanya.

Dampak lainnya program CSA SIMURP adalah efek GRK dan iklim bisa tertanggulangi. Begitu juga masalah pengairan sudah tertangani dengan adanya pembelajaran manajemen irigasi kepada petani. Selain itu, inovasi teknologi seperti pempupkan berimbang juga sudah masuk dalam program SIMURP.

”Harapan kami, SIMURP ini menjadi program yang berkelanjutan, bahkan kian diperluas dalam demplot di tempat lain,” ujarnya. YL/NF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *