Kementan Gandeng Belgia, Perkuat Strategi New ISPO dan Clearing House

Berita, Perkebunan10 Dilihat

Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengupayakan kemudahan para pekebun dengan berbagai cara, salah satunya berkolaborasi dengan Dubes RI untuk Belgia, merangkap Luxemburg dan Uni Eropa dan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian serta sejumlah asosiasi pengusaha/eksportir komoditas dan Ngo untuk melakukan serangkaian proses negosiasi dan pendekatan dengan Komisi EU. Diperlukan strategi penguatan tata kelola data komoditas, ketelusuran dan sertifikasi berkelanjutan, demi bantu mempermudah pekebun hadapi tantangan EUDR.

Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman meminta jajaran lingkup Kementerian Pertanian, agar terus perkuat sektor industri kelapa sawit Indonesia, dengan mendorong digitalisasi pertanian sebagai bagian dari komitmen pertanian dalam langkah deforestasi dan perbaikan tata kelola perkebunan yang harus segera dicapai agar bisa menambah nilai daya saing produk perkebunan Indonesia di pasar Uni Eropa.

Salah satu bentuk komitmen tanggungjawab Kementan dalam aspek keberlanjutan lingkungan adalah dengan memperkuat sistem sertifikasi ISPO yang menandai progress signifikan penerapan prinsip keberlanjutan melalui instrument ISPO yang bersifat mandatory bagi semua pelaku usaha baik BUMN, swasta maupun pekebun.

Direktur Jenderal Perkebunan Andi Nur Alam Syah mengatakan, “Kementan melalui Ditjen Perkebunan telah melakukan berbagai upaya sinergitas dengan sejumlah pihak di Komisi EU dengan menghasilkan Joint Task Force bersama dengan Pemerintah Malaysia untuk sarana diskusi, diplomasi dan negoisasi. Untuk kali ini, kita coba menggandeng KBRI Belgia melalui Bapak Andri Hadi selaku Dubes RI yang mengurusi kebijakan Uni Eropa untuk lebih merumuskan strategi dan upaya khusus menghadapi EUDR.”

Pada moment Kunjungan Kerja Dubes RI Brussel terkait EUDR beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Perkebunan diwakili Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Prayudi Syamsuri mengatakan, “Konsekuensi EUDR ini akan berlaku Desember 2024 untuk operator/pedagang dan Juni 2025 untuk UMKM. Untuk itu, pemerintah harus bergerak cepat agar pekebun kita tidak merugi dimana akan ada pengenaan sanksi jika tidak sesuai dengan kebijakan EUDR ini yang menyasar 4 komoditas perkebunan yaitu sawit, karet, kakao dan kopi. Dalam hal ini Ditjen Perkebunan sedang memperkuat kebijakan sertifikasi berkelanjutan melalui New ISPO.”

Prayudi menambahkan, tujuan utamanya adalah meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akurasi dalam melacak produk-produk perkebunan berkelanjutan dan mematuhi standar keberlanjutan yang diperlukan, ini adalah sasaran ketelusuran yang di harapkan Uni Eropa.

Lebih lanjut, Prayudi mengatakan, “Pemerintah telah mengupayakan ketelusuran rantai pasok kelapa sawit, kakao, karet dan kopi melalui Clearing House (CH) System. Kunci CH ini adalah di integrasi sistem data komoditas. Pemerintah saat ini telah memperkuat sistem database pelaku usaha sawit dengan meluncurkan aplikasi SIPERBUN (Sistem Informasi Perizinan Perkebunan), untuk pekebun, kita juga sedang memperkuat pendataan melalui e-STDB. Clearing House (CH) merupakan sistem atau konsep yang dimaksudkan untuk menghubungkan berbagai sistem informasi yang berkaitan secara terintegrasi dengan kebijakan data dan informasi perkebunan berkelanjutan di hulu dan hilir/industri/pabrik.”

Di sisi lain, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud menyampaikan, ”Kita akui sebenarnya komoditas kita sudah tidak ada deforestasi, tetapi yang menjadi tantangan kita karena hal itu perlu dibuktikan melalui geolocation dan tidak semua petani mampu melakukan itu, ini tantangan kita kedepan.”

Menurut Dubes RI untuk Belgia, Andri Hadi terkait situasi terkini terkait EUDR, menekankan sistem benchmarking ini sangat berdampak serius atau riskan bagi negara khususnya terkait budidaya, akses pasar, hilirisasi, produk dan keberlanjutan produksi.

”Kebijakan Uni Eropa dalam penerapan sistem benchmarking bisa berdampak sangat signifikan bagi semua negara. Negara yang dicap high-risk akan dinilai belum sesuai standar oleh dunia karena asumsi yang tertanam bahwa negara tersebut melakukan deforestasi dan degradasi lahan,” kata Andri. Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *