Jakarta – Untuk mencapai emisi 0% lewat EU green deal, Uni Eropa melakukan beberapa pengetatan aturan. Menurut Dubes Indonesia untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa Andri Hadi, beberapa indikasi standar pengetatan pangan yang akan diimplementasikan UE adalah pengurangan 50% penggunaan pestisida terhadap produk agrikultur; pengurangan 25% pupuk kimia pada tanaman pangan; peningkatan 25% pertanian organik; standarisasi kemasan dan label di produk pangan yang mencakup informasi nutrisi serta aspek iklim, lingkungan hidup dan sosial yang menyertai produk terkait. Petani UE minta kesamaan playing field dengan petani non UE sehingga akan berdampak pada ekspor produk pertanian dari negara non UE.
Dampak EGD terhadap sektor pertanian adalah tracebility aspek keterlacakan dari hilir sampai hulu. Produk hijau, produk yang berisiko merusak hutan dan lingkungan (Forest and Ecosystem Risk Commodities (FERC) akan lebih ketat persyaratannya untuk masuk UE yaitu kelapa sawit, kedelai, kopi, cokelat, karet, jagung, daging sapi dan kulit. Pengetatan standar Maxium Resiudue Limit. Salah satu rekomendasi Dubes untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memodernisasi teknik pertanian sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, misalnya melalui pengurangan pupuk anorganik dan pestisida kimia.
Menanggapi hal ini Direktur Perlindungan Perkebunan, Ardi Praptono menyatakan bahwa melihat kebijakan EU Eropa yang semakin hijau jangan selalu dilihat sebagai ancaman terhadap ekspor Indonesia tetapi juga merupakan peluang. Petani EU diminta mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia bahkan organik harus ditingkatkan. Petani menuntut impor produk pertanian dari mana saja ke EU juga harus ikuti aturan yang sama.
“Justru ini peluang terbuka untuk produk-produk organik. Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah seperti lada, pala, juga kopi dan kakao Indonesia. Dengan persyaratan yang semakin ketat maka ini peluang baik untuk produk organik,” katanya.
Dengan pasar yang terbuka seperti ini sudah saatnya pekebun untuk mencoba bertani secara organik tanpa perlu menunggu bantuan pemerintah pusat. Kemampuan APBN terbatas sehingga petani tidak perlu tergantung pada pemerintah untuk masuk ke pertanian organik.
Pertanian organik harus jadi gerakan bersama untuk memenuhi pasar ekspor ke depan. Untuk kopi dan kakao misalnya peluang Indonesia untuk bisa memenuhi persyaratan UE sangat besar karena selama ini diusahakan tidak terlalu intensif dibanding Brasil, Vietnam untuk kopi dan Pantai Gading, Ghana untuk kakao. Untuk rempah bersaing dengan India yang produk organiknya lebih maju.
Pekebun bisa belajar pertanian organik dari aplikasi yang ada di situs Ditjenbun, juga ke BBPPTP Surabaya, Medan, Ambon dan BPTP Pontianak. Di You tube sekarang banyak sekali bimbingan teknis bertani organik dari berbagai instansi. Selain itu sekarang banyak perusahaan, LSM yang membantu petani untuk berkebun organik. “Manfaatkan semua sumber daya yang ada untuk masuk ke pertanian organik. Peluang pasar sudah terbuka lebar. Sayang kalau tidak bisa kita manfaatkan,” kata Ardi. Humas Ditjenbun