Peluang bisnis produksi vitamin A dan E berbasis minyak sawit cukup besar, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga luar negeri. Peluang tersebut harus ditangkap oleh industri dalam negeri, sebagai salah satu produk hilir minyak sawit. Pengamat Pertanian, Prof. Bungaran Saragih mengatakan, dilihat dari demand, baik dari dalam negeri dan luar negeri cukup besar. Di dalam negeri, kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak mengalami kekurangan gizi dan stunting menjadi peluang untuk produksi vitamin A dan E. Apalagi bahan bakunya berasal dari komoditas minyak sawit .
“Kita sudah menghasilkan PKO dan CPO terbesar di dunia. Ini menjadi sumber penghasil vitamin A dan E yang luar biasa. Prospek itu ada, masalahnya bagaimana kita menjadikan bisnis. Kalau kita gagal menerjemahkannya sebagai bisnis, maka kita gagal mengembangkan bisnis tersebut,” kata Bungaran saat webinar Prospek Bisnis Vitamain A dan E Berbasis Minyak Kelapa Sawit di Jakarta, Rabu (9/12).
Bungaran mengakui, untuk menjadikan minyak sawit sebagai sumber vitamin A dan E yang berguna untuk kesehatan memerlukan proses panjang yang harus dikuasai industri dalam negeri, terutama mengubah/ekstrak dari minyak sawit. “Prosesnya panjang dan rumit. Ada masalah enginering, sosial, bahkan politik pemerintah. Untuk itu, peran pemerintah sangat penting. Untuk menangkap peluang itu, jangan malu kita bekerjasama dengan asing, terutama dari sisi teknologi,” tuturnya.
Data Kementerian Pertanian pada tahun 2017 mencapai 23 juta dollar AS atau 14,83persen terhadap APBN. Tahun 2018 nilai ekspor minyak sawit mencpai 22,08 juta dollar AS terjadi penurunan karena harga komoditas melemah, sehingga porsi terhadap APBN hanya 13,30 persen. Sementara tahun 2019, karena terjadi pelemahana nilai komoditas global nilai ekspor kembali menurun, sehingga nilai ekspor CPO hanya 19,24 juta dolar AS atau 11,73 persen dari APBN. Dari sisi volume, ekspor CPO terus mengalami peningkatan. Tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 3,8-3,9 juta ton. Berdasarkan data Oktober 2020, sudah mencapai 3,2 juta ton dengan nilai 26 juta dollar AS.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Rapolo Hutabarat mengakui, industri minyak sawit belum banyak digarap secara bisnis. Misalnya, POME yang bisa menghasilkan listik dan gas, tandan kosong untuk listrik dan etanol, betkaroten dan tocopherol sebagai bahan baku industri makanan dan farmasi. Potensi betaroten mencapai 13,5 ribu ton/tahun.
Harga betakaroten natural untuk vitamin E di pasar internasional mencapai 350 dollar AS atau Rp 7.500/kg, sedangkan beta carotene sintesitis sebesar 250 dollar AS atau Rp2.000/kg. Sedangkan harga tocopherol natural 100 dollar AS/kg, sedangkan yang sintetis 20-75 dollar AS/kg.
Rapolo menyayangkan hingga kini belum ada perusaah Indonesia yang terjun ke industri ini, sehingga menjadi tantangan bagi kita semua. Dari 20 perusahaan global yang bermain diindustri betkaroten semuanya perusahaan asing. Ada lima negara yakni, Belanda, Jerman, Denmark, AS dan Israel. Begitu juga pemain global tocpherol ada 16 industri seperti BASF dan DSM.
Padahal menurutnya produksi minyak sawit Indonesia terus bergerak naik. Misalnya, tahun 2019 produksi CPO mendenkati 50 juta ton, bahkan tahun 2020 akan lebih dari 50 juta ton. Bahkan sejak tahun 2017 hingga 2020, nilai ekspor minyak sawit hulu dan hilir memberikan porsi cukup besar terhadap APBN.
Sementara Kepala PUI-PT Nutrasetikal Pusat Penelitian Biosains dan Bioteknologi ITB, Elfahmi Yaman mengatakan, minyak sawit sebagai sumber vitamin A dan E mempunyai keunggulan dalam pemanfaatan di bidang farmasi secara komersial. Bahkan penggunaan dalam bentuk crude material kasar merupakan nilai tambah bagi minyak sawit, karena mengandung beberapa kandungan lain yang bisa memberikan efek farmakologi secara sinergis. “Karena itu inovasi riset Vitaman A dan E memberikan luaran yang sangat prospektif dalam pemanfaatan Vitamian A dan E dari minyak sawit,” katanya.
Direkur Plt Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo mengatakan, sebagai produsen terbesar minyak sawit di dunia, rata-rata ekspor crude palm oil (CPO) per tahun mencapai 21,4 miliar dolar AS. Jumlah itu 14,4 persen pertahaun dari total ekspor Indonesia. Bahkan pada masa pandemi masih bisa menghasilkan devisa. Hingga Agustus devisa yang terkumpul dari ekspor mencapai 13 miliar dollar AS di tengah lemahnya penghasilan devisa lain seperti dari migas dan pariwisata.
Perkebuan sawit juga menjadi penyumbang membuka lapangan pekerjaan. Dari mulai on farm (kebun) hingga sampai produk akhir total lapangan pekerjaan yang terserap mencapai 4,2 juta tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Sawit juga berkonstribusi pada biodiesel, energi ramah lingkungan. “Bahkan pencampuran biodiesel dengan minyak solar pada 2020 menjadikan Indonesia pioneer dalam pencampuran atau terbesar di dunia. Ini berdampak mengurangi ketergantungan impor minyak solar,” katanya.