Ditjenbun Harapkan SSII Tingkatkan Ekspor Rempah

Ditjen Perkebunan menyambut baik hadirnya Sustainable Spices Iniative Indonesia (SSII) dan sudah melakukan MoU. “Saya berharap implementasi kerjasama yang mengacu pada nota kesepahaman ini dapat meningkatkan nilai tambah, daya saing serta akses pasar, meningkatan volume serta nilai ekspor komoditas rempah dan tanaman obat di Indonesia di pasar internasional,” kata Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Perkebunan, Ditjenbun.

Volume ekspor rempah berdasarkan tahun 2020 dibanding tahun 2019 terjadi peningkatan volume ekpor. Volume ekspor lada naik 12,8%, pala 14,4% dan cengkeh 83,8% . Sedang nilainya cengkeh naik 58,3%.

Tantangan rempah adalah rendahnya produktivitas karena tanaman banyak yang sudah tua, sedang aspek perdagangannya masalah mutu dan akses pasar. Upaya Ditjenbun dalam peningkatan produktivitas adalah dengan logistik benih 500 didalamnya termasuk pala, lada dan kayu manis. “Sampai kapanpun dunia akan tetap butuh rempah-rempah. Karena itu produktivitas harus ditingkatkan juga daya saing,” katanya.

Akses pasar masih ada masalah yaitu beberapa kali penolakan ekspor pala ke Eropa karena kandungan lflatoksin diatas ambang yang ditentukan. Padahal pala itu sebelum diberangkatkan sudah diperiksa oleh laboratorium yang mendapat recognition dari Eropa dan kandungan aflatoksinnya dibawah ambang batas yang ditentukan.

“Mungkin karena perjalanan panjang sehingga dijalan kadarnya aflatoksinnya naik. Mungkin juga beda metoda sampling, metode uji dan alat. Laboratoriumnya sudah mendapat recognition tetapi sistim dan SOPnya belum. Hal ini harus segera diatasi sebab merugikan sekali eksportir, apalagi Eropa merupakan negara tujuan ekspor utama pala Indonesia/ Lewat SSSI diharapkan pala dengan health certification dari sini sesampainya di sana tidak diperiksa lagi,” kata Dedi.

Secara terpisah, Sigit Ismayato, Direktur PT Alam Sari Interbuana (ASI), eksportir rempah ke Eropa menyatakan kunci sukses ekspor adalah harus mampu menghasilkan kualitas sesuai kemauan pembeli yaitu rendah aflatoksin dan mengikuti semua regulasi. PT ASI saat ini merupakan eksportir pala baik biji maupun fuli, lada dan cengkeh.

“Barang yang kita kirim harus dipastikan kualitasnya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Pala kualitasnya ada yang utuh ABCD, utuh SS, broken dan organik; fuli ada utuh, broken dan organik; kayu manis ada stick, KABC broken, KBBC broken dan organik; lada hitam dan lada putih dan cengkeh utuh,” kata Sigit.

Rempah harus ditangani dengan tepat, karena itu tim PT ASI dibantu pihak lain melakukan training di lokasi supaya petani melakukan penanganan pasca panen dengan tepat. Setiap barang yang akan diekspor juga harus melewati uji laboratorium. Setelah Badan Karantina mengeluarkan health certificate baru barang diekspor. Sertifikat lain yang harus dimiliki adalah sertifikat halal dan khusus organik USDA organik.

Menurut Sigit berbisnis saat ini tidak bisa dilakukan sendiri tetapi harus berkolaborasi dengan banyak pihak. PT ASI saat ini bekerjasama dengan petani dan pemerintah juga LSM. Dalam kemitraan dengan petani Ditjenbun dilibatkan, sedang untuk ekspor dengan Ditjen Perdagangan Luar Negeri. Saat ini PT ASI sudah bermitra dengan kelompok tani di Jambi, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Papua Barat.

Sedang LSM adalah Penabulu, ICCO, Inobu dan CEA. LSM dilibatkan dalam pembinaan petani supaya bisa bekerjasama dalam kelembagaan juga meningkatkan kapasitasnya dalam tentang pasar dan mutu. Sedang membangun rantai nilai komoditas secara digital bekerjasama dengan DAKOTA (Data Komoditas Terpadu). Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *