Strategi Pengembangan Kakao

Jakarta – Strategi pengembangan kakao adalah dengan peningkatan produksi dan produktivitas berbasis kawasan lewat peremajaan, perluasan, rehabilitasi, intensifikasi, implementasi GAP, penerapan inovasi teknologi perbenihan. Endy Pranoto, Koordinator Tanaman Penyegar, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan menyatakan hal ini.

Peningkatan nilai tambah dan daya saing lewat tumpang sari, integrasi ternak dan agrowisata perkebunan. Perbaikan panen dan pasca panen dengan inovasi dan teknologi pasca panen, diversifikasi produk dan peningkatan mutu biji.

Peningkatan kemampuan SDM lewat pelatihan teknis dan manajerial, pendampingan dan penyuluhan. Pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha dengan penguatan kelembagaan (korporasi petani); manajemen kemitraan usaha hulu hilir, sinergitas kelembagaan penelitian.

Perbaikan mutu biji kakao bisa dilakukan bila semua stake holder berkomiten untuk meningkatkannya lewat penerapan Permentan dan SNI biji kakao. Fasilitasi sarana dan prasarana pasca panen dan pengolahan serta pengujian mutu biji kakao di sentra kakao secara berkala melibatkan tenaga daerah.

Meningkatkan pengawasan mutu kakao oleh pemerintah dari hulu hingga hilir. Program kerjasama/kemitraan/pendampingan antara industri pengolahan kakao dengan petani sehingga semua pihak dapat diuntungkan (kontinuitas pasokan biji kakao yang bermutu bagi industri0, harga yang reasonable dan kemudahan akses pupuk/teknologi terbaru bagi petani.

Pembinaan kepada petani terkait GAP dan GMP sehingga dihasilkan biji kakao yang berkualitas baik sesuai standar (baik SNI maupun persyaratan negara tujuan ekspor).

Arif Zamroni, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia menyatakan mayoritas petani kakao di Indonesia masih sangat konvensional yaitu hanya konsentrasi pada budidaya saja, baik berkelompok atau tidak. Akibatnya proses rantai berikutnya diserahkan pada pihak lain baik trading pengumpulan biji sampai trading biji ke industri.

Petani sama sekali tidak ikut dalam permainan ini. Pada akhirnya petani banyak menjadi objek tanpa memiliki bargaining yang cukup.

Baca Juga :   Pernyataan Ketum Perpadi, Pengamat: Baca Data Jangan Sepenggal-Penggal

Permasalahan petani kakao saat ini adalah alih fungsi lahan. Di Jatim banyak petani yang mengganti kakao dengan tebu, sedang di Sumatera dan Kalimantan dengan kelapa sawit. KLHK saat ini sedang gencar dengan penanaman sengon dan dinas kehutanan Jabar, Jateng, Jatim banyak membagi-bagikan bibit sengon sehingga banyak petani di 3 provinsi ini mengganti kakao dengan sengon.

Kalau harga biji kakao rendah mayoritas kebun tidak terawat, kalau harga biji tinggi kebun baru dirawat. Saat ini kebun kakao petani banyak yang terserang OPT. Kalau harga rendah petani tidak melakukan pengendalian, kalau harga tinggi baru melakukan pengendalian. Pengendalian OPT belum intensif.

Selain hama serangan binatang seperti kera dan tupai juga menjadi masalah di Lampung, Kaltim dan Jatim. Tupai memuntahkan kembali biji kakao dan aromanya jadi berbeda. Mungkin hal ini bisa dieksplorasi seperti halnya kopi luwak.

Petani juga sebagian besar sudah tua hal ini menjadikan alih teknologi sulit. Harga kakao rendah karena mata ranti panjang. Petani tidak tahu informasi, satu-satunya informasi harga berasal dari tengkulak.

Akibatnya petani kurang bergairah mengakibatkan produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan rendah. Petani selalu membandingkan satu komoditi dengan komoditi lainnya sehingga mudah mengalihkan tanaman. Dengan kondisi seperti ini maka kakao menjadi tanaman sambilan bukan tanaman utama. Humas Ditjenbun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *