Jakarta – Pekebun sawit merupakan kekuatan besar dengan luas mencapai 6,94 juta ha dari total luas kebun sawit nasional 16,38 juta ha. Pada masa lalu lewat kemitraan dengan perusahaan, pekebun berhasil meningkatkan kesejahteraannya. Keberhasilan ini menjadi cikal bakal untuk membentuk korporasi pekebun sawit pada masa sekarang.
Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjenbun menyatakan hal ini pada webinar dan Live Streaming 2nd Indonesian Palm Oil Smallholders Conference (IPOSC) “Memperkuat Petani Kelapa Sawit” yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan, POPSI (Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia) dengan dukungan BPDPKS.
Konsep pengembangan korporasi pekebun adalah pekebun terkonsolidasi dalam Poktan/Gapoktan/Koperasi, mendapat fasilitas sarpras, pembinaan dan pendampingan dari pemerintah dan mitra, pekebun sebagai anggota korporasi mengusahakan budidaya sawit, koperasi bersama BUMN/Bumdes membentuk PT untuk mengelola korporasi petani, swasta sebagai mitra strategis korporasi, korporasi pekebun memasarkan hasil produknya.
Kemitraan harus diperkuat, transparansi menjadi kata kunci. Ke depan tidak perlu lagi ada yang pihak yang harus menjodohkan pekebun dengan perusahaan karena masing-masing saling membutuhkan. Pada PSR Ditjenbun mewajibkan kemitraan karena TBS pekebun nantinya perlu ada yang menampung.
Supaya pekebun bisa naik kelas maka Ditjenbun dengan pembiayaan BPDPKS membuat program pengembangan SDM lewat pendidikan dan pelatihan juga sarana dan prasarana. Sarpras bukan hanya alsintan, perbaikan jalan, ISPO tapi nanti akan ke pembangunan PKS. Perlu studi yang mendalam soal PKS mini jangan sampai membuat TBS jalan-jalan mencari pabrik yang memberi harga tinggi. Di Muba sedang dalam proses pembuatan IVO dari TBS petani yang nanti menjadi bensin sawit.
Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya supaya pekebun nanti mampu mengelola korporasi. Perlu study lebih lanjut supaya korporasi ini berjalan dengan baik. Sertifikasi ISPO juga penting supaya ketelusuran produk berjalan dengan baik dan produknya diakui konsumen.
Korporasi pekebun juga bisa masuk ke penyediaan benih unggul siap salur, sehingga tidak perlu lagi misalnya PSR di Sulawesi mendatangkan dari Medan sehingga biaya meningkat dan risiko benih layu atau mati. Korporasi pekebun nanti produknya bukan lagi TBS tetapi CPO sehingga kemitraan harus diselaraskan lagi.
BPDPKS menurut Edi Wibowo, Direktur Kemitraan, sangat mendukung pembentukan korporasi pekebun. BPDPKS saat ini untuk pekebun mendanai PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), Sarana dan Prasarana, Pengembangan SDM. Program riset yang dibiayai oleh BPDPKS juga salah satu tujuannya meningkatkan produktivitas pekebun.
Lewat pendanaan pada pekebun diharapkan produktivitas dan kesejahteraan pekebun sawit semakin meningkat sehingga korporasi pekebun sawit terbentuk. Demikian juga hasil riset akan mendukung hal yang sama.
BPDPKS mendorong supaya dalam PSR pekebun bermitra dengan perusahaan baik BUMN maupun swasta. Pemberdayaan pekebun swadaya dalam pemanfaatan produk hilir lewat program PSR, litbang dan kemitraan adalah TBS diolah di pabrik menjadi IVO. Limbah pabrik baik padat maupun cair kembali ke kebun untuk memperbaiki lahan (sirkular ekonomi). IVO masuk ke industri diolah jadi minyak makan sehat (60%) dan bahan bakar biohidrokarbon (40%).
Program pengembangan SDM dengan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, pendampingan dan fasilitasi akan meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan keberlanjutan industri sawit Indonesia selamanya sesuai target yang diharapkan.
Pahala Sibuaea, Ketua Umum POPSI menyatakan mendukung pembentukan korporasi pekebun. POPSI yang beranggotakan Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia, Asoasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Perjuangan, Serikat Petani Kelapa Sawit dan Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia akan terus memberi masukan supaya korporasi pekebun sawit bisa berjalan.
Program-program yang sedang berjalan seperti PSR hendaknya asosiasi juga bisa dilibatkan, terutama bagi pekebun yang memilik PSR dengan swakelola. Asosiasi petani sehari-hari sudah mendampingi petani. PSR yang dikelola secara swakelola perlu pendampingan terus menerus untuk menjamin keberhasilannya. Demikian juga dalam program pengembangan SDM berupa pendidikan dan pelatihan, asosiasi-asosiasi anggota POPSI tahu persis kebutuhan pelatihan apa saja yang dibutuhkan petani. Humas Ditjenbun