Peningkatan Mutu dan Produksi Karet dengan Perawatan Kesehatan Bidang Sadap

Penulis :
Farriza Diyasti (POPT Ahli Muda)
Antares M. Prawira (Pengawas Mutu Hasil Pertanian (PMHP) Ahli Muda)

Karet   merupakan   salah   satu   andalan ekspor Indonesia  yang   berkontribusi   besar   terhadap devisa    negara.    Menurut    data Direktorat Jenderal  Perkebunan  (DITJENBUN)  (2019), pada    tahun    2019,    volume    ekspor    karet mencapai 2,50 juta ton dengan nilai USD 3,53 miliar.  Indonesia  memiliki  perkebunan  karet dengan luas yang mencapai 3,68 juta ha pada 2019  yaitu  85%  didominasi  oleh  perkebunan rakyat. Luasan tersebut memberikan kontribusi produksi sebesar 3,30 juta ton dan produktivitas  1,03  ton  per  ha.  Perkebunan karet   mampu   menciptakan   lapangan   kerja bagi  2,1  juta  kepala  keluarga  (KK). Namun, permasalahan utama komoditas karet di Indonesia saat ini yaitu terhambat pada masih rendahnya tingkat produktivitas rata-rata karet di Indonesia. Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produktivitas tersebut yaitu rendahnya mutu penyadapan, terutama penerapan Teknik penyadapan yang tidak tepat, seperti kedalaman sadapan yang tidak sesuai anjuran, terlalu dangkal dan terlalu dalam hingga melukai kambium, konsumsi kulit sadapan yang berlebihan (lebih dari 2 mm), dan waktu penyadapan yang terlalu siang, serta efek penggunaan stimulansia berlebihan yang disertai intensitas penyadapan yang terlalu tinggi dapat memicu terjadi penyakit atau kerusakan pada bidang sadap (Robianto & Supijatno, 2017).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Siregar dan Suhendry (2013), bahwa teknik penyadapan menjadi penting karena sangat berkaitan dengan umur ekonomis tanaman, produktivitas, produksi dan kualitas lateks yang dihasilkan. Lateks yang baik harus memenuhi ketentuan antara lain dapat disaring dengan saringan berukuran 40 mesh, tidak terdapat kotoran atau benda-benda lain seperti rum lateks, tidak tercampur dengan bubur lateks, air atau serum lateks, warna putih dan berbau karet segar, lateks kebun dengan mutu nomor 1 (satu) memiliki kadar karet kering 28% dan lateks kebun mutu nomor 2 (dua) mempunyai kadar karet kering 20% (Sugito, 2007).

Baca Juga :   Peduli Terhadap Ketahanan Pangan Sagu, Ditjenbun Sigap Salurkan 12.000 Benih Sagu Unggulan Demi Bantu Petani Di Meranti

Menurut Damanik et al. (2010) penyadapan dilakukan pada rentang waktu 05.00 -08.00 WIB saat tekanan turgor masih tinggi, kedalaman irisan sadapan yang sesuai dengan anjuran, yakni 1-1.5 mm dari lapisan kambium, konsumsi kulit sadapan 1.5-2 mm, mempertahankan sudut sadap 35º-40º terhadap bidang horizontal, dan penggunaaan stimulansia yang sesuai dengan dosis anjuran. Penyadapan pada tanaman karet merupakan tindakan panen yang berkelanjutan hingga puluhan tahun. Karena itu, penerapan system sadap memerlukan suatu mekanisme panen dimana faktor frekuensi panjang alur sadap, arah sadapan, kedalaman sadap, aplikasi stimulan atau perubahan-perubahannya diformulasikan sehingga dapat diterapkan secermat mungkin di lapangan serta dilakukan pengawasan sadapan yang bertujuan menghindari terjadinya kesalahan penyadapan. Secara patologis, keadaan ini juga memicu serangan penyakit yang umumnya disebabkan oleh cendawan dan sampai saat ini belum diketahui adanya penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus atau patogen lainnya. Tetapi ada penyakit tanaman karet yang disebabkan oleh gangguan fisiologis, yaitu penyakit Kering Alur Sadap (KAS) atau disebut juga dengan Brown Bast (BB).

Menurut Nugrahani et al. (2015), gejala KAS ditandai dengan terhentinya aliran lateks dan mengeringnya bidang sadap. Penyebab utama terjadinya KAS adalah adanya gangguan pada sistem pembuluh lateks sehingga memicu terbentuknya senyawa-senyawa radikal tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lutoid. Ketika lutoid pecah terjadi proses koagulasi lateks dalam pembuluh lateks. Koagulasi tersebut menjadi penyebab terbentuknya jaringan tilasoid, tersumbatnya pembuluh lateks, dan akhirnya lateks tidak dapat mengalir pada saat disadap. Tingkat serangan sangat ditentukan oleh jenis klon karet, keadaan tanah dan iklim, serta eksploitasi penyadapan.

Pemilihan klon yang sesuai, penerapan sistem sadap normatif sesuai tipologi klon, pemeliharaan tanaman yang lebih baik dan pengawasan dini adalah upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menangani serangan KAS. Beberapa klon tahan BB adalah BPM 24, RRIC 102, BPM 1, dan RRIC 110. Sedangkan klon RRIC 100, GT 1, dan RRIM 600 termasuk kategori moderat.

Baca Juga :   Kalbar Jadi Provinsi Percontohan Penomoran STDB Nasional Melalui E-STDB

Pada gambar : Atasan-batasan dalam hubungannya dengan frekuensi sadap dan penggunaan stimulan dibuat sebagai berikut (Eko, 2020):

Jika jumlah tanaman yang terinfeksi mencapai 25% pada  suatu areal dilakukan penurunan intensitas sadap.

Jika jumlah tanaman yang terinfeksi sekitar 10% penyadapan normal tetap dilakukan tetapi tanpa menggunakan stimulan.

Jika terdapat infeksi 1/8S maka penyadapan normal tetap dilaksanakan dan penggunaan stimulan tetap dilakukan

Jika infeksi berkisar antara 2/8S – 3/8S pemakaian stimulan dihentikan selama 6 bulan dan kulit yang terinfeksi dikerok serta dibuat alur isolasi antara batas kulit sakit dan sehat.

Jika infeksi mencapai 4/8S atau lebih penyadapan dihentikan selama 6 bulan atau lebih.

Tanaman-tanaman yang terserang berat dimana pembuatan parit isolasi tidak mungkin dilakukan lagi, disarankan untuk disadap berat pada bagian yang masih mengeluarkan lateks.  Mengistirahatkan tanaman tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit.

Dalam rangka mewujudkan rencana Gerakan Nasional Bokar Bersih (GNB2) maka pola pembinaan petani karet saat ini lebih diarahkan kepemberdayaan petani/kelompok tani karet melalui pembentukan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB). Dinas Perkebunan Provinsi berupaya dalam pembentukan UPPB dan untuk pembinaan teknis diperlukan Regu Peduli Bidang Sadap (RPBS) Dengan pencanangan Gerakan Nasional Bokar Bersih, Regu Peduli Bidang Sadap Karet (RPBSK) yang tergabung dalam Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) di bawah bimbingan Site Manager dan petugas yang menangi PPHP di Dinas yang membidangi perkebunan Kabupaten/Kota secara terus menerus melakukan / melaksana kan bokar bersih dengan cara menggunakan bahan pembeku yang dianjurkan dan menggunakan/ memanfatkan peralatan pasca panen yang didapat dari PPHP, APBD I dan APBD II (Mahyudi, 2022). Penggunaan bahan tanam yang baik dan berkualitas, pemakaian pupuk secara teratur, pemeliharaan dan pengelolaan tanaman, serta pelaksanaan teknik budidaya dengan benar terutama pada sistem eksploitasi tanaman dan sistem penyadapan merupakan langkah yang harus ditemput dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman karet di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *