Jayapura – Pengelolaan sagu di wilayah Papua dan sekitarnya, masih terbatas pada pengolahan sagu menjadi papeda yakni makanan khas Papua. Seringnya masyarakat mengkonsumsi papeda, lupa akan nutrisi yang terkandung dalam sagu. Meski kenyang dengan mengkonsumsi olahan sagu akan tetapi nutrisi belum tercukupi. Salah satu kekurangan pati sagu adalah rendahnya kadar protein yaitu kurang dari 0,7%. Meskipun dalam 100 gram tepung sagu terkandung karbohidrat (51,6 gr), protein (0,3 gr), lemak (0,2 gr), kalsium (27 mg), fosfor (13 mg) dan zat besi (0,6 mg).
Diperlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang benar dalam pengelolaan sagu yang layak dikonsumsi. Dalam rangka mendukung peningkatan kualitas SDM yang mumpuni, Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan menyelenggarakan Pelatihan Vokasi Pengolahan Sagu bagi penyuluh pertanian sejumlah 30 orang pada di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Toware, Kabupaten Jayapura.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), mengungkapkan bahwa peningkatan kompetensi SDM bidang pertanian harus dilakukan. Peningkatan SDM yang profesional bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan vokasi, bimbingan teknis, maupun sertifikasi profesi.
Hal ini juga seperti yang dijelaskan oleh Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM BPPSDMP, Dedi Nursyamsi, bahwa SDM pertanian seperti widyaiswara, dosen, petani, penyuluh pertanian, praktisi pertanian lainnya harus terus ditingkatkan untuk menerapkan inovasi teknologi pertanian. Kunci pembangunan suatu bangsa diawali dari pembangunan SDM.
“Kuncinya adalah pembangunan SDM-nya, pendidikannya, pelatihannya, penyuluhnya,” tegas Dedi Nursyamsi.
Dalam proses pelatihan tersebut materi yang disampaikan oleh widyaiswara BBPP Ketindan tentang cara bagaimana meningkatan nilai gizi sagu melalui fortifikasi. Kegunaan dan tujuan fortifikasi sagu sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan.
Menurut Diana Triswaningsih selaku widyaiswara yang memberikan materi pada pelatihan ini, bahwa salah satu bahan sebagai penambah fortifikasi untuk meningkatkan nilai protein sagu, menggunakan berbahan dasar nabati atapun hewani.
“Pada kegiatan praktek pembuatan sagu fortifikasi, para penyuluh pertanian memilih dan menggunakan kacang hijau sebagai bahan fortifikasinya, karena bahan tersebut mudah dijumpai di wilayah Papua,” jelas Diana.
Rasa penasaran para penyuluh pertanian terobati dengan mengaplikasikan sagu fortifikasi menjadi olahan yang bernilai ekonomis tinggi dengan membuat menjadi mie sagu fortifikasi dengan level tekstur mie mirip spaghetti italiano.
“Dengan keberhasilan ketrampilan para penyuluh pertanian membuat mie sagu fortifikasi, diharapkan mereka mampu untuk memberikan semangat pendampingan kepada petani, kelompok wanita tani dalam memberdayakan ekonomi keluarga petani dan mendukung program pemerintah untuk mengurangi konsumsi terigu berlebih,”imbuh Diana. Diana Triswaningsih/ Junni Fardiana/ Yeniarta