Petani Sumenep Dulang Emas Dengan Budidaya Cabai Jawa

Kecamatan Bluto di Kabupaten Sumenep, Kepulauan Madura, Provinsi Jawa Timur merupakan dataran rendah dengan ketinggian maksimum 175 m dpl yang memiliki potensi besar dalam pengembangan tanaman cabai Jawa (Piper retrofractum).

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi pertanian saat ini adalah mencukupi pangan bagi seluruh rakyat indonesia.  “Kita harus memstikan ketersediaan pangan di seluruh tanah air, baik ketersediaan barang pangan maupun ketersediaan akses untuk mendapatkannya.”

Seperti halnya dengan Rafi’ie, salah satu petani cabai Jawa di Desa Desa Bluto, Kecamatan Bluto. Ia mengawali budidaya cabai Jawa sejak tahun 1997 silam. “Awalnya saya hanya menanam sekitar 0,5 Ha. Saat ini, alhamdulillah sudah berkembang mencapai 1,5 Ha” tutur Rafi’ie.

Cabai Jawa merupakan salah satu tanaman obat yang populer dan merupakan salah satu komoditas ekspor. Tanaman ini tumbuh merambat dan berbuah sepanjang tahun. Saat musim penghujan, panen dapat dilakukan sebanyak dua kali sebulan. Sedangkan saat musim kemarau, interval pemanenan lebih sedikit, kurang lebih hingga tiga kali pemanenan. Karakter dari buah yang siap dipanen adalah buah yang mendekati masak fisiologis yang ditandai oleh warna kemerahan namun masih keras.

Rafi’ie memperkirakan hasil panen kali ini mencapai lebih dari satu kuintal cabai kering atau senilai lebih dari 5 juta rupiah, dengan harga cabai Jawa saat ini kisaran  52 ribu rupiah per kilo. Total musim kemarau ini ia berhasil memanen hampir tiga kuintal buah cabai jamu kering senilai kurang lebih 14 juta rupiah. Bisa dibayangkan, berapa rupiah yang bisa diraup oleh petani cabai Jawa selama satu tahun?

Mengingat areal pertanian di daerah Bluto merupakan tanah tegal tadah hujan, petani mengandalkan pengairan dari sumur bor. Mereka menyediakan bak air di areal pertanaman untuk menampung air kemudian melakukan pengairan dengan cara dikocor. Rafi’ie lalu mencoba menggunakan teknologi irigasi tetes (drip irrigation) yang diajarkan oleh penyuluh pertanian pendamping dari BPP Bluto, hasilnya tanaman tetap produktif walaupun sedang kemarau.

Baca Juga :   Wamentan Harvick Dorong Inovasi dan Hilirisasi Komoditas Kelapa di Indragiri Hilir

Sementara itu menurut salah satu pengepul cabai Jawa, H. Syaiful, mengatakan, “Saya menekuni bidang ini (red : pembelian cabai Jawa) sejak tahun 1995, menggantikan orang tua saya yang sejak 1982 menjadi pengepul. Tanaman cabai Jawa mencapai puncak kejayaan pada tahun 1997. Saat itu harga mencapai 90 ribu rupiah per kilo. Setahun kemudian harga anjlok hingga 27 ribu per kilo. Saat ini, harga relatif stabil berkisar antara 45-52 ribu per kilo.”

H. Syaiful menambahkan bahwa cabai Jawa kering produksi petani di Kecamatan Bluto memiliki kualitas yang baik, dengan ciri ukuran besar, tanpa tangkai dan warna hitam. Cabai Jawa kering ini diperuntukan bagi eksportir di Surabaya untuk selanjutnya penjualan ke negara India, China dsb.

“Selama pasar masih membutuhkan bahan kering (simplisia) cabai Jawa, maka peluang untuk pengembangan cabai Jawa khususnya di Kecamatan Bluto masih terbuka lebar, apalagi didukung oleh kondisi agroklimat setempat. Oleh karena itu, petani perlu dibekali dengan cara budidaya yang tepat, agar produksi lebih maksimal dan keberlanjutan produksi tetap terjaga,” ujar Delly Hos Kapila, penyuluh yang mendampingi petani di Kecamatan Bluto.

Sementara itu Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi, mengatakan bahwa pangan adalah masalah yang sangat utama. “Masalah pangan adalah masalah hidup matinya suatu bangsa. Sudah waktunya petani tidak hanya mengerjakan aktivitas on farm, tapi mampu menuju ke off farm, terutama pasca panen dan olahannya. Banyak yang bisa dikerjakan untuk menaikkan nilai pertanian, khususnya pasca panen,” tegas Dedi. DELLYHK/YENI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *