JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) tentunya terus berupaya mengantisipasi beberapa strategi untuk pasar CPO Indonesia, karena terdampak kondisi Geopolitik di Ukraina dan Rusia.
Yang pertama Ukraina, dengan asumsi 100% ekspor CPO Indonesia tidak bisa terserap di negara tersebut maka tentunya negara-negara eropa dapat menjadi pasar alternative untuk dilakukan peningkatan volume ekspor.
Ali Jamil, Plt Dirjen Perkebunan Kementan menyatakan bahwa, Khususnya untuk negara-negara EFTA seperti Liechstentain, Swiss, Norway, Islandia dapat menjadi pasar baru CPO Indonesia yang juga dilatarbelakangi dengan keberhasilan penyelesaian perundingan secara substansial RI-EFTA CEPA pada tahun 2018 dan sejumlah negara EFTA sudah meratifikasi perjanjian tersebut sehingga memiliki konsekuensi positif dalam hal penghapusan bea masuk sejumlah produk Indonesia ke pasar EFTA seperti kelapa sawit, ikan, emas, kopi, dan produk industri manufaktur (tekstil, alas kaki, sepeda, mainan, furnitur, peralatan listrik, mesin, dan ban).
“Selain itu, kawasan negara Balkan seperti Serbia, Bulgaria, dan negara lainnya juga memiliki potensi untuk bisa menyerap ekspor CPO Indonesia yang tidak bisa diekspor ke Ukraina. Di Serbia juga pada tahun 2021 telah ditandatangani letter of intens (LoI) antara Kementerian Pertanian dengan sejumlah buyer sawit Serbia pada saat kegiatan promosi dagang atau ODICOFF (one day with Indonesia Coffee, Fruit and Floriculture) yang di inisiasi Kementerian Pertanian bulan November 2021 lalu di Galerija LAG Bul. Vudro Vilsona 12 Shopping Mall Beograd, Serbia,” katanya.
Tak hanya itu, Lanjut Ali Jamil, Kawasan Amerika Selatan juga memiliki potensi untuk dilakukan peningkatan ekspor CPO Indonesia dan negara India pun juga memiliki potensi meningkatkan penyerapan CPO Indonesia, yang saat ini diekspor berkisar antara 3,07 juta ton CPO per tahun. Hal ini dilatarbelakangi juga oleh perjanjian bilateral Indonesia-India terkait kesepakatan imbal dagang raw sugar India dengan produk sawit dan karet Indonesia.
Untuk pasar Rusia, Ali Jamil menjelaskan bahwa, kami memprediksi tidak 100% pasar CPO Indonesia tertutup tetapi dengan peningkatan eskalasi dan embargo sejumlah negara terhadap Rusia, bukan tidak mungkin kondisi ini akan semakin sulit sehingga dengan asumsi 100% ekspor CPO Indonesia tidak bisa terserap di negara tersebut maka tentunya negara-negara eropa barat atau Uni Eropa dan eropa timur (bekas jajahan Sovyet) dapat menjadi pasar alternative untuk dilakukan peningkatan volume ekspor.
Ali Jamil menambahkan, Pasar Belanda tentunya menjadi pasar utama peningkatan ekspor CPO Indonesia karena jalur Rotterdam dan Amsterdam sebagai salah satu jalur tersibuk di Eropa dan menguasai antara 10-20% total volume bongkar muat barang di Eropa sehingga belanda juga dapat dikatakan sebagai hub untuk perdagangan CPO Indonesia ke sejumlah negara eropa di Kawasan Laut Tengah atau Mediterania.
Negara China pun dapat menggantikan pasar CPO yang ditinggalkan Rusia, Ali Jamil menuturkan, Karena secara jarak relative lebih efisiensi jalur distribusinya, ditambah China dalam beberapa waktu termasuk negara yang cepat pulih perekonomiannya sejak diterpa pandemi Covid-19 sehingga ini merupakan peluang yang tidak boleh dilewatkan disaat ekonomi China sudah mulai pulih kembali.
Sementara itu, Lanjut Ali Jamil, Pakistan juga dapat menjadi pasar alternative untuk alih ekspor produk CPO Indonesia jika tidak dapat diserap seluruhnya di Rusia karena peningkatan kebutuhan Vanaspati Ghee yang sebagian besar bahan baku berasal dari CPO.
“Sedangkan untuk Mesir dan Serbia serta sejumlah negara Balkan juga memiliki potensi untuk menyerap lebih banyak CPO Indonesia, hal ini berangkat dari ditandatanganinya sejumlah kesepakatan kerjasama atau letter of intens (LoI) antara Kementerian Pertanian dengan sejumlah buyer sawit Serbia dan Mesir pada saat kegiatan promosi dagang atau ODICOFF (one day with Indonesia Coffee, Fruit and Floriculture) yang di inisiasi Kementerian Pertanian bulan November 2021 lalu di Beograd, Serbia dan di Grand Nile Tower Hotel Cairo, Mesir. Kebutuhan CPO Mesir yang diimpor dari Indonesia sekitar 1,03 juta ton per tahun dan memiliki potensi peningkatan yang juga dipengaruhi kebutuhan Mesir sebagai Hub perdagangan dengan negara-negara tetangga di Kawasan Afrika Utara dan Kawasan Sub Sahara,” ujarnya.
Terkait beberapa negara yang sudah dilakukan penguatan secara bilateral seperti Uni Emirat Arab (UEA) melalui pembahasan RI-UEA CEPA dalam initial request offer 2022 diharapkan langsung berlaku untuk produk 1511 dalam kategori EIF / EHP (Early Harvest Package: Tarif Elimination (0%) at Entry Into Force) sehingga CPO Indonesia dapat berpotensi meningkat pasarnya disana.
Begitu juga dengan negara Korea Selatan yang dalam proses ratifikasi perjanjian bilateral dengan Indonesia dalam kerangka IK-CEPA yang sejak tahun 2017 kemitraan bilateral kedua negara meningkat menjadi sebuah kemitraan strategis khusus dalam bentuk CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement). Ditambah lagi dengan ditandatanganinya Plan of Action Implementasi Kemitraan Strategis Khusus untuk periode 2021-2025, dan MoU on Triangular Cooperation yang menjadi dasar kontribusi bersama kedua negara dalam pembangunan di negara berkembang lainnya.
“Kesepakatan bilateral ini bisa menjadi jaminan untuk peningkatan ekspor CPO Indonesia ke Korea Selatan dengan penghapusan tarif bea masuk dan/atau pengurangan tarif yang signifikan,” ujarnya.
Berbagai strategi alih tujuan ekspor CPO Indonesia ke negara-negara tersebut, Lanjut Ali Jamil, Perlu memperhatikan serangkaian persyaratan seperti efisiensi jarak dan biaya distribusi, peningkatan status sejumlah kesepakatan bilateral dan kesepakatan G to B serta peningkatan kebutuhan-kebutuhan vegetable oil sebagai antisipasi terhambatnya pasar CPO Indonesia ke Ukraina dan Rusia.
“Tentunya kedepan diharapkan analisis alih ekspor CPO ini dapat meningkatkan kebutuhan di negara pengalihan untuk memulihkan perekonomian negara-negara tersebut akibat eskalasi geopolitik di Ukraina dan akibat kondisi dari pandemi Covid-19,” ujarnya. Humas Ditjenbun