Revisi Permentan 01 Tahun 2018: Perlukah?

Jakarta – Penetapan Harga Tanda Buah Segar (TBS) pekebun menjadi isu yang hangat dibahas sekarang ini, bahkan sebagian petani sawit menganggap permasalahan penetapan harga ini ada dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.

Menurut sebagian petani kelapa sawit hal yang menjadi polemik dalam Permentan ada dalam Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Perusahaan Perkebunan membeli TBS produksi Pekebun mitra melalui Kelembagaan Pekebun untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerjasama secara tertulis yang diketahui oleh bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan kewenangan”

Pasal 4 ayat (1)  ini dianggap sebagai kendala dilapangan pertama substansi Permentan ini dinilai sudah tidak relevan dengan dinamika petani sawit saat ini, kedua petani swadaya yang bermitra dengan perusahaan minim, Ketiga tidak ada konsekuensi hukum jika pabrik sawit tidak patuh terhadap aturan tersebut, Keempat PKS enggan melakukan kerjasama kemitraan dengan petani swadaya dan panjangnya alur proses persetujuan kemitraan karena harus diketahui oleh Bupati/Walikota. Kelima, Petani swadaya yang tergabung dalam kelembagaan petani hanya sedikit.

Menanggapi beberapa polemik ini Prof Ponten Naibaho selaku Praktisi Penetapan Harga TBS, yang telah lama berkecimpung di dunia persawitan, menyampaikan bahwa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 01 Tahun 2018 sebagai dasar mekanisme penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun masih relevan digunakan saat ini.  Ia menjelaskan bahwa permentan ini sebagai upaya melindungi pekebun kelapa sawit dan PKS. Pekebun kelapa sawit sebagai jaminan pembelian TBSnya, sedangkan bagi PKS sebagai jaminan pasokan bahan baku sebagai kelangsungan industrinya.

“Jelas penetapan harga dalam permentan ini berlaku untuk semua pekebun tanpa pengecualian jadi tidak ada diskriminasi.  Pemahaman pekebun mitra dalam pasal dimaksud, dimaknai sebagai pekebun yang melakukan kemitraan, kesepakatan atau perjanjian kerjasama tertulis dengan PKS. Bukan hanya pekebun plasma yang TBS-nya bisa dibeli PKS, pekebun swadaya juga bisa, sepanjang tergabung dalam Gapoktan atau kelembagaan pekebun, tentu dengan ikatan perjanjian kerjasama tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai kewenangan” ujar Ponten Naibaho.

Ponten menekankan, perlu adanya pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap pemaknaan norma-norma yang berlaku di Permentan 01 tahun 2018 ini. Permentan ini menjelaskan definisi pekebun secara umum, jadi tidak ada diskriminasi terhadap pekebun swadaya, sepanjang TBS pekebun swadaya memenuhi kriteria dalam permentan. Jadi sebenarnya, dirasa tidak perlu merevisi permentan tersebut.

“Kewajiban perusahaan perkebunan harus melakukan kemitraan usaha atas dasar saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Prinsip ini diatur dalam Pasal 57 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” yang perlu dimasifkan adalah pengawasan Pemerintah” ungkapnya.

Lebih lanjut Ponten menegaskan, Permentan 01 tahun 2018 telah memenuhi kaidah hukum keperdataan mengenai jual-beli. Karena jual beli merupakan hubungan perdata, salah satunya harus ada kesepakatan dan tidak bisa juga dipaksakan kalau tidak ada perjanjiannya. “Permentan 01 tahun 2018 pada prinsipnya untuk mengatur tata niaga TBS pekebun sawit dengan perjanjian bahwa TBS sebagai komoditas harus memenuhi persyaratan bahan baku PKS. Jika TBS yang diterima tidak sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam perjanjian maka PKS berhak menolak,” ujarnya.

Lebih lanjut disebutkan melalui kemitraan para pekebun swadaya sebagai penyedia bahan baku, dapat menerima fasilitasi pelatihan atau pembinaan pekebun oleh PKS, sehingga dapat menghasilkan TBS yang berkualitas dengan rendemen CPO yang tinggi. Fakta di lapangan rendemen TBS mitra pada umumnya lebih tinggi dari non mitra. Jika seluruh pekebun swadaya bermitra dengan PKS diharapkan rendemen CPO Nasional akan meningkat artinya tonase CPO per ha akan lebih tinggi. Jadi yang perlu dilakukan sebenarnya adalah mewujudkan kemitraan antara PKS dengan Pekebun swadaya serta harus diawasi oleh Pemerintah Daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *