Penerapan Teknologi Benih Unggul Kunci Keberhasilan Usaha Tani Kopi

Oleh:

Saipulloh, SP, M.Si (Pengawas Benih Tanaman) dan Drs. Nono Suharyono (Pranata Humas Ahli Madya)

Tanaman kopi telah berkembang sejak jaman penjajahan Belanda (VOC), sebagian besar ditanam oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat. Kopi merupakan komoditas ekspor yang penting sebagai sumber devisa, perekonomian, dan pendapatan petani. Seperti komoditas perkebunan lainnya, perdagangan kopi juga mengalami pasang surut, baik di pasar dalam negeri maupun dunia, namun peran komoditas kopi masih sangat penting. Dengan demikian kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia.

Luas areal tanaman kopi berdasarkan statistik perkebunan 2020-2022 data angka tetap tahun 2020 mencapai 1.250.452 ha dengan produksi 762.380 ton. Volume ekspor kopi pada tahun 2020 sebesar 379.354 ton dengan nilai mencapai US$ 821,93 juta. Komoditas tersebut menjadi sumber pendapatan utama sekitar 1.858.226 kepala keluarga petani (Ditjenbun, 2022).

Perkebunan kopi di Indonesia kepemilikannya didominasi oleh Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya mencapai seluas 1.227.191 ha atau sebesar 98,14% dari total areal kopi di Indonesia, sedangkan sisanya seluas 13.841 ha atau seluas 1,11% merupakan Perkebunan Besar Negara (PBN) dan seluas 9.420 atau sebesar 0,75% adalah Perkebunan Besar Swasta (PBS). Komposisi tersebut menunjukkan bahwa peranan petani kopi dalam keberhasilan usaha tani cukup signifikan sehingga pemberdayaan petani perlu dilakukan. Di Indonesia petani menanam tiga jenis kopi, yaitu Robusta, Arabika, dan Liberika. Kopi Robusta dan Arabika umumnya ditanam di tanah mineral dengan ketinggian masing-masing 100–600 m dpl dan di atas 1.000 m dpl, sedangkan kopi Liberika banyak ditanam pada lahan pasang surut bergambut dan tanah mineral dekat permukaan laut sampai ketinggian 900 m dpl.

Peningkatan produktivitas tanaman kopi Indonesia dari angka tetap berturut-turut dari tahun 2018-2020 sebesar 799 kg/ha, 803 kg/ha, dan 811 kg/ha masih jauh di bawah potensi produksinya sekitar 2-2,5 ton/ha (Ditjenbun, 2022). Penyebab dari rendahnya produktivitas kopi di Indonesia di antaranya: bahan tanaman yang digunakan petani bukan klon/varietas unggul, petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi budi daya sesuai anjuran, perkebunan rakyat dengan skala usaha kecil dan banyak tanaman yang sudah berumur tua atau rusak karena terserang hama/penyakit.

Baca Juga :   Kementan Fokus Percepat Masa Tanam Untuk Mengembangkan Industri Hilirisasi Perkebunan

Dalam kesempatan kali ini akan difokuskan untuk membahas tentang penggunaan bahan tanam/benih tanaman kopi. Umumnya tanaman yang berasal dari benih asalan sehingga produksinya rendah dan kemungkinan akan lebih rentan terhadap serangan hama/penyakit, bila dibandingkan menggunakan benih unggul. Hal ini mengingat bahwa kopi adalah tanaman tahunan, oleh karena itu usaha kebun kopi merupakan investasi jangka panjang yang sangat rentan terhadap berbagai risiko.

Sebagai alternatif yang efisien untuk mengantipasi resiko tersebut, maka penerapan teknologi terutama penggunaan benih unggul sangat diperlukan. Sebagaimana dinyatakan Hasnam (2007) bahwa peran benih varietas unggul sangat penting sebagai teknologi yang digunakan untuk menentukan batas produktivitas yang bisa dicapai, kualitas produk yang dihasilkan, efisiensi produksi tanaman. Di sisi lain, Wahyudi (2011) mengemukakan bahwa penggunaan benih unggul merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan perkebunan dan merupakan pintu masuk bagi inovasi lainnya karena benih unggul akan menunjukkan kinerjanya bila disertai aplikasi inovasi lainnya.

Benih mempunyai peran penting, tetapi sebagian petani kopi masih menggunakan benih asalan dan setiap petani tentu memiliki alasan mengapa belum menggunakan benih kopi yang unggul. Pertimbangan dan keputusan petani untuk menggunakan benih unggul atau tidak dipengaruhi oleh banyak faktor. Upaya akselerasi penggunaan benih unggul oleh petani sangat diperlukan agar usaha tani kopi mampu memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi kepada petani. Oleh karena itu, proses penerapan inovasi teknologi termasuk benih unggul merupakan proses yang sangat kompleks karena proses tersebut merupakan proses yang mengakibatkan perubahan perilaku petani. Hal ini dapat dipandang baik dari sisi pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) sehingga memutuskan untuk menerapkan suatu inovasi. Proses penerapan teknologi menjadi rumit juga turut dipengaruhi oleh faktor teknis dan sosial ekonomi (Mardiharini et al., 1990).

Baca Juga :   Melalui BPP Kostratani Sembawa, SMK PP Distribusikan 600 Bibit Jambu Kristal untuk Kelompok Tani

Menurut Weir dan Knight (2000) menyatakan bahwa pengetahuan petani terhadap teknologi sangat berpengaruh dalam menerapkan teknologi. Sedangkan umur, pendidikan, akses ke pasar, dan potensi agroekologi juga berperan sangat penting. Selain itu, faktor penting yang berpengaruh adalah intervensi faktor eksternal seperti penyuluhan dan kelembagaan di tingkat petani. Menurut Listyati et al., (2011) disebutkan bahwa penerapan teknologi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani serta pendapatan usaha tani. Selanjutnya Wahyudi dan Hasibuan (2011) menunjukkan bahwa penerapan teknologi oleh petani tanaman sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan petani yang diindikasikan dari tingkat penghasilan petani (modal), pengetahuan petani (pendidikan, pelatihan dan aktivitas penyuluhan) serta pengalaman petani dalam berusahatani.

Berbagai klon benih unggul kopi sudah ada namun sebagian petani masih belum menggunakannya. Menurut Rogers (2003) dalam Listyati et al. (2013) dijelaskan bahwa proses penerapan terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pengetahuan (knowledge), dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu, informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat; tahap persuasi (persuasion), yaitu tahap dimana proses penerapan lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia peroleh jika menerapkan inovasi tersebut secara personal, berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan rekan seprofesi, terjadi kemungkinan kecenderungan untuk menerapkan atau menolak inovasi tersebut; tahap pengambilan keputusan (decision), yaitu tahap seseorang membuat keputusan akhir apakah mereka akan menerapkan atau menolak sebuah inovasi. Setelah melakukan pengambilan keputusan, masih terdapat kemungkinan perubahan dalam proses penerapan yaitu tahap implementasi (implementation), dimana seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut dan tahap konfirmasi (confirmation), yaitu tahap dimana setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diterapakan ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Setelah tahap ini, masih terdapat peluang seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi, dan sebaliknya.

Baca Juga :   Mari Selamatkan Bumi Melalui Padi Rendah Emisi

Dengan memahami proses penerapan teknologi seperti yang diuraikan di atas perlu dilakukan beberapa tahapan serta banyaknya faktor yang berpengaruh menyebabkan proses penerapan benih unggul kopi oleh petani menjadi sangat perlu untuk diketahui. Hal ini agar pembangunan perkebunan dapat meningkatkan kesejahteraan petani/pekebun, serta dapat menambah khazanah pengetahuan bagi petugas Pengawas Benih dan para pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan program yang telah direncanakan. Oleh karena itu, antara penciptaan teknologi yang telah diteliti di tingkat penelitian sampai dengan penerapan teknologi di tingkat petani/pekebun perlu disusun juga strategi proses penerapan teknologinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *